Sabtu, 07 Desember 2013

SAIVA SIDDHANTA



SAIVA SIDDHANTA 1
TUGAS UTS
Dosen Pengampu : I Ketut Pasek Gunawan, S. Pd. H


IHD
 





IHDN Denpasar
Oleh :
Nama           : Luh Widastri
NIM             : 10.1.1.1.1. 3820
Kelas            : PAH A / Semester IV























 




Jurusan Pendidikan Agama Hindu
Fakultas Dharma Acarya
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
2012


Soal :
  1. Jelaskan proses penyebaran Siwa Siddhanta dari India sampai ke Bali !
  2. Sebutkan dan jelaskan sekte-sekte yang ada dalam Siwa Siddhanta !
  3. Jelaskan bentuk kristalisasi Siwa Siddhanta di Bali !
  4. Apakah saudara beragama Hindu ? Jelaskan !
  5. Bagaimana anda menyikapi terhadap adanya Sampradaya Krisna dan Saibaba dalam Konsep Siwa Siddhanta ?

Jawaban :
  1. Proses penyebaran Siwa Siddhanta dari India sampai ke Bali adalah diawali dari datangnya bangsa arya dari Endo Jerman 5000 SM di hulu Sungai Sindhu yaitu di Punjab dan sebagian berada di Iran. Bangsa dravida yang telah mengenal ajaran Siva dengan ciri-ciri seperti bentuk Deva Siva sehingga diidentik dengan sivaisme yang tinggal di daerah Tambil Nadu. Bangsa arya dengan Waisnawa karena sifat kepahlawanannya. Agama Siva berasal dari kaki gunung Himalaya dan pengikutnya sangat panatik. Sebelum bangsa Arya ada perkembangan agama Siva sudah pesat terbukti dari arca dan penemuan berbentuk Siva, dan bentuk dewa lainnya dan juga pengikutnya. Sebuah lingam, Yoni konsep penciptaan. Sehingga konsep itu diadopsi oleh bangsa arya kedalam Veda, Upanisad, Purana dan bentuk kepercayaan Siva Agama Tambil baik arsitektur dan sebagainya.
Di Indonesia Mazab Siva Siddhanta datang pada abad ke 4 M di Kutai dibawa oleh Rsi Agastya dari Benares India. Di lihat dari peninggalan-peninggalan sejarah kebudayaan agama Hindu yang diketemukan di berbagai tempat di daerah nusantara ini, baik berdasarkan penemuan-penemuan arkeologi maupun penemuan kitab-kitab berupa rontal-rontal, menunjukkan bahwa peninggalan-peninggalan itu pada umumnya memperlihatkan ciri-ciri Siwa yang amat dominan. Hal ini membuktikan bahwa ajaran yang menyebar ke nusantara adalah Siwa Siddhanta. Penyebaran Siwa Siddhanta ini disebarkan oleh para Brahmana/Rsi atau sarjana-sarjana Agama Hindu. Terkenal nama Rsi Agastya dari Kasi, Benares India, penganut Siwa yang taat. Peninggalan yang lain berupa terdapatnya 7 Yupa dengan huruf Sansekerta. Jawa Barat tahun 400-500 M terdapat kerajaan Tarumanegara rajanya Purnawarman, terdapat 7 prasasti disebut Kebon Kopi. Jawa tengah terdapat kerajaan Kalingga tahun 618-906 M rajanya Ratu Sima terdapat prasasti bahasa Sansekerta bergambar Tri Sula. Kerajaan Sriwijaya pada abad 7 mulai adanya perkembangan Buddha Mahayana. Kerajaan Mataram rajanya Sanjaya tahun 654 mendirikan Lingga disebut pada prasasti Canggal. Setelah itu banyak bermunculan candi Buddha seperti candi Kalasan, Borobudur. Kerajaan Kanjuruhan rajanya Dewa Sima tahun 760 mendirikan tempat pemujaan Siwa Mahaguru. Kerajaan Medang rajanya Sendok tahun 929-947 yang memuliakan dewa Siwa dan memuja Tri Murti. Kerajaan Majapahit 1293-1528 rajanya Kertarajasa Jayawardhana terskhir rajanya Wikramawardhana masa jayanya Siwa Siddhanta.
Selanjutnya proses perkembangan Siwa Siddhanta sampai di Bali yang merupakan kelanjutan dari Jawa Timur. Pada saat kerajaan Majapahit mengalami kehancuran, banyak masyarakatnya berdatangan ke Bali guna menyelamatkan diri dari Kerajaan-kerajaan Islam. Penyebaran Siwa Siddhanta ini sampai ke Bali tentunya berkat jasa para orang suci dari Jawa Timur, karena awalnya di Bali pada jaman prasejarah hanya memiliki kepercayaan kepada roh yang berstana di gunung terutama kepercayaan kepada roh nenek moyang, juga ada kepoercayaan terhadap alam nyata dan tidak nyata. Penyebaran Siwa Siddhanta ini di Bali untuk pertama kalinya dilakukan oleh Rsi Markandeya sebagai orang suci dan yogi dari India yang memiliki pasraman di lereng gunung Raung Jawa Timur. Bertempat di kaki gunung Agung ( di Besakih ) Rsi Markandeya menanam Panca Datu berupa perak, tembaga, emas, besi, dan campuran keempat logam. Menurut ND Pandit bahwa Rsi Markandeya adalah orang yang pertama- tama mengajarkan agama Siwa di Bali dan mendirikan Pura Wasuki di lereng Gunung Agung. Perkiraan masuknya Siwa Siddhanta dikuatkan dengan adanta temuan berupa pecahan fragmen prasasti di Pejeng yang berbahasa Sansekerta yang memuat mantra Buddha (Yete Mantra) yang diperkirakan dari tahun 778 M, awal prasasti ada berbunyi “Siwas ddh” dan menurut R. Goris bahwa itu berbunyi “Siwa Siddhanta”. Pada abad ke 11 datanglah ke Bali seorang Brahmana Buddha dari Majapahit yaitu Mpu Kuturan, dimana pada awal kedatangannya di Bali sudah melihat banyak kenyataan bahwa banyak sekte-sekte telah berkembang. Beliau sangat berperan dalam proses menyatukan berbagai macam aliran atau sekte yang berkembang di Bali. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Tri Murti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat. Paham tri Murti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widi dalam posisi horizontal (pangider-ider).

  1. Sekte-sekte yang ada dalam Siwa Siddhanta adalah ada 9 sekte . Sembilan sekte tersebut adalah Siwa Siddhanta, Pasupata, Waisnawa, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora, Ganapatya dan Bhairawa. Demikian juga dalam lontar Sad Agama disebutkan agama Siwa terdiri dari enam sekte yaitu : Sambu, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu, dan Kala. Dari sembilan sekte tersebut luluh menjadi Siwa Siddhanta yang paling banyak pengikutnya.
1)      Sekte Siwa Siddhanta paling besar pengikutnya. Kata Siddhanta berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa Siddahnta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Siddhanta ini mengutamakan pemujaan ke hadapan Tri Purusha, yaiut Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai dengan fungsinya yang berbeda-beda.
2)      Sekte Pasupata, yang merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan sekte Siwa Siddhanta tampak jelas dalam cara pemujaannnya. Cara pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga.
3)      Sekte Waisnawa, yang merupakan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani Bali, Dewi Sri dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup utama. Bukti berkembangnya sekte Waisnawa di Bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga.
4)      Sekte Bodha dan Soghata di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar.
5)      Sekte Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Siddhanta. Di India Sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan produk dari sekte Brahmana.
6)      Mengenai Sekte Rsi di Bali, Goris memberikan uraian sumir dengan menunjuk kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan bersal dari Wangsa (golongan) Brahmana. Istilah Dewarsi atau Rajarsi pada orang Hindu merupakan orang suci diantara raja-raja dari Wangsa Ksatria.
7)      Pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan Sekte Sora, merupakan satu bukti sekte Sora itu ada. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi cirir penganut sekte Sora. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yadnya.
8)      Sekte Ganapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa. Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna yaiut penghalang gangguan. Oleh karena itu pada dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai dan sebagainya.
9)      Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tipa desa pakraman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang merndambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi.

  1. Bentuk kristalisasi Siwa Siddhanta di Bali, yaitu
Sebelum pemerintahan suami istri Dharma Udayana/Gunapriya Dharmapatni (sejak awal abad ke 10), di Bali telah berkembang berbagai sekte. Pada mulanya sekte-sekte itu hidup berdampingan secara damai. Lama kelamaan justru sering terjadi persaingan. Bahkan tak jarang terjadi bentrok secara fisik. Hal ini dengan sendirinya sangat mengganggu ketentraman Pulau Bali. Sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu. Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakuakn di Bataanyar (Samuan Tiga). Dalam rapat majelis Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yang terdiri dari berbagai aliran. Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa. Konsensus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha. Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) unutk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama :
a.       Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan).
b.      Pura Puseh untuk memuja kemuliaan Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa.
c.       Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu saktinya Bhatara Siwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widi Wasa.
Ketiga pura tersebut disebut Pura Kahyangan Tiga yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Dalam Samuan Tiga juga dilahirkan suatu Organisasi “Desa Pakraman” yang lebih dikenal dengan Desa Adat.
Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Tri Murti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga. Dang Hyang Dwijendra yang datang ke Bali pada abad ke 14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Atas wahyu Hyang Widhi di Purancak, Jembrana, beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tri Purusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebagai Siwa, Sadha Siwa dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana. Jika konsep Tri Murti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal maka konsep Tri Purusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal. Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat di tata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat Pakraman dibuat, organisasi subak ditumbuhkembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain itu belaiau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin.
Orang-orang suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali. Dibidang tattwa misalnya, ciri khas yang paling meninjol adalah penyembahan Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Tri Murti dan Tripurusa dalam bentuk palinggih Kemulan Rong Tiga dan Padmasana yang dikembangkan masing-masing oleh Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha. Di bidang ritual ciri khas Hindu Blai yang terpenting adalah adanya bebali atau banten yang dikembangkan oleh Danghyang Markandeya dan Mpu Sangkulputih.
  1. Pada umumnya kita beragama karena mengikuti lingkungan, khususnya lingkungan terdekat yaitu orang tua kita. Sejak kecil kita diajak oleh orang tua kita mengikuti cara-cara agama. Kita diajak sembahyang bersama pada hari raya. Pada usia tertentu kita dibuatkan upacara-upacara agama.  Saya memang beragama Hindu, karena orang tua saya beragama Hindu dan demikian pula leluhur-leluhur saya. Saya juga beragama Hindu karena saya meyakini agama ini dan merupakan pilihan saya, karena menurut saya agama Hindu adalah agama yang saya yakini. Memang tidak cukup dengan hanya Trisandya 3 kali dalam sehari saja sudah bisa dikatakan beragama Hindu. Akan tetapi kita semua masih dalam tahap belajar untuk memperdalam ajaran agama Hindu ini.
Seperti yang dikatakan Sri Swami Sivananda, bahwa "keramah-tamahan yang tulus dari agama Hindu sangat terkenal. Agama Hindu memberi perhatian terhadap semua agama. Agama Hindu tidak pernah mencela atau mencaci maki agama lain. Agama Hindu menghormati kebenaran dari manapun datangnya”. Inilah salah satu alasan mengapa kita memeluk agama Hindu
  1. Cara saya menyikapi dengan adanya Sampradaya Krisna dan Sai Baba dalam Konsep Siwa Siddhanta adalah tetap berpikir positif, memang dengan adanya aliran-aliran kepercayaan tersebut sering sekali menimbulkan adanya konflik-konflik baru tetapi bukankah lebih baik apabila kita sebaiknya di dalam mengikuti ataupun menilai sebuah ajaran harus disiapkan pemahaman yang mendalam, sehingga pengetahuan sebagai pemahaman tersebut menjadi sebuah dasar pedoman yang utuh, yang mampu menjamah inti dari tujuan sebuah ajaran yang dihadapi, sehingga selisih faham, dan komplik-komplik integral kemasyarakatan dapat diminimalisasi bahkan dihapuskan, serta tujuan peningkatan kerohanian dapat tercapai. Kalau memang banyak umat kita yang mengikuti aliran semacam itu, biarkan saja karena kemungkinan itu baik dan diyakini menurutnya asalkan seseorang itu tetap mampu mengayomi keluarganya. Banyak sekali fakta-fakta yang bisa saya dapatkan dalam lingkungan saya bahwa orang-orang yang mengikuti aliran-aliran seperti itu dalam tanda kutip masih awam pemahamannya sampai meninggalkan keluarganya karena lebih fokus terhadap aktivitas-aktivitas dalam alirannya. Memang semua tujuannya baik tapi apabila demikian halnya, bukankah sangat diperlukan pemikiran yang sangat matang. Sampradaya ini sudah berkembang pada jaman dahulu, karena banyak terdapatnya konflik di antara aliran-aliran itu maka Mpu Kuturan menyatukan semua itu sebagai bentuk Kristalisasi dari Siwa Siddhanta. Apa tugas kita sebagai umat yang sudah gampang menikmati hasil dari jerih payah para orang-orang suci tersebut adalah menjaga apa yang telah diwariskan. Jadi kita boleh saja mengikuti aliran seperti itu dengan maksud untuk memperdalam pemahaman kita akan tetapi jangan saja disalahartikan dan tetap menjaga semua warisan-warisan dari para orang suci tersebut.