Jumat, 24 Januari 2014

IMPLEMENTASI CATUR ASRAMA DALAM KEHIDUPAN MASA SEKARANG

MATA KULIAH JURNALISTIK
“IMPLEMENTASI CATUR ASRAMA DALAM KEHIDUPAN MASA SEKARANG”
Dosen Pengampu : I Ketut Pasek Gunawan, M.Pd.H





IHDN Denpasar

LUH WIDASTRI        (10.1.1.1.1.3820)


Jurusan Pendidikan Agama Hindu
Fakultas Dharma Acarya
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
2013


IMPLEMENTASI CATUR ASRAMA DALAM  KEHIDUPAN MASA SEKARANG

 
ABSTRAK
   
Penulisan ini menjelaskan tentang Implementasi Catur Asrama Dalam Kehidupan Masa Sekarang. Terkait pada jaman modernisasi ini, umat mulai berpikir apakah masih relevankah ajaran mengenai Catur Asrama ini diterapkan dijaman sekarang. Tentu saja ya, bukan berarti jaman berganti ajaran Catur Asrama ditinggalkan tetapi harus disesuaikan dengan jaman dalam mengaplikasikannya. Itulah hal yang paling tepat dilaksanakan mengingat jaman ini adalah jaman Kaliyuga, dimana kebaikan 25 % dan kejahatan 75 %.
Catur Asrama adalah empat tahapan hidup dalam Agama Hindu. Dalam mencapai tujuan hidup yaitu Moksa, ada beberapa tahapan yang harus dijalani umat agar sesuai dengan swadharmanya masing-masing. Adapun bagian-bagiannya adalah (1) Brahmacari yaitu tahapan hidup menuntut ilmu (2) Grahasta yaitu tahapan hidup berumah tangga (3) Wanaprasta yaitu tahapan hidup mengasingkan diri ke hutan untuk tujuan lepas dari kehidupan duniawi dan (4) Bhiksuka yaitu tahapan hidup terakhir dalam tahapan melepaskan segala kehiduan duniawi, mengekang hawa nafsu dan indriya untuk dapat mencapai tujuan hidup yang terakhir yaitu Moksa. Bagian-bagian dari Catur Asrama ini, satu sama lainnya saling berkaitan. Selain itu, Catur Asrama juga ada hubungannya dengan Catur Purusa Artha, yang merupakan empat tujuan hidup manusia. Pada penulisan kali ini hanya akan dibahas mengenai Catur Asrama dalam Pendidikan Masa Sekarang.

I.    Pendahuluan
Kehidupan merupakan  susunan yang sangat sistematik dan tertib dalam Sanatana Dharma. Dari segi kegiatan manusia yang berbeda, ada kesempatan untuk mengembangkannya. Pekerjaan dan latihan yang tepat diberikan pada setiap masa kehidupan, karena kehidupan merupakan sebutan tempat belajar yang luas, tempat daya, kemampuan dan kecakapan manusia secara bertahap dikembangkan. Setiap orang harus melewati asrama yang berbeda secara teratur. Ia hendaknya tidak memasuki sesuatu tahapan hidup sebelum waktunya. Ia dapat memasuki tahapan berikutnya, hanya bila tiap-tiap tahapan sebelumnya telah diselesaikannya. Di alam, evolusi berjalan secara bertahap dan tidak secara revolusioner. Sama halnya dengan tahapan demi tahapan yang ada dalam Catur Asrama yang harus dilalui oleh manusia untuk mencapai tujuan akhir Agama Hindu yaitu “Moksartam Jagaditha”.
Empat Asrama atau tahapan dalam kehidupan, yaitu : Brahmacari (tahapan belajar atau masa menuntut ilmu pengetahuan), Grhastha (tahapan berumah tangga), Wanaprastha (tahapan penghuni hutan atau pertapa dan yang terakhir adalah Sannyasin (kehidupan penyangkalan atau bhiksuka). Setiap tahapan memiliki tugas sendiri-sendiri. Tahapan-tahapan ini membantu evolusi manusia. Empat Asrama menempatkan manusia pada kesempurnaan oleh masing-masing tahapan. Pelaksanaan dari Empat Asrama, mengatur kehidupan dari awal sampai akhir. Dua Asrama yang pertama menyinggung tentang Prawrtti Marga atau jalan kerja, dan tua tahapan berikutnya yaitu kehiduan Wanaprastha dan Sannyasa merupakan tahapan penarikan diri dari dunia luar. Mereka menyinggung kepada Niwrtti Marga atau jalan penyangkalan atau penolakan.
Wanaprastha dan Sannyasa Asrama, adalah tahapan hidup memasuki masa pension dan tahapan hidup mempersiapkan diri untuk melepaskan sang diri (Atman) dari belenggu kehidupan di dunia nyata ini. Dua tahap ini hanya ditujukan untuk mencapai Moksa sebagai tujuan akhir dari proses  hidup ini. Saat Wanaprastha adalah tahapan hidup untuk membagi berbagai pengalaman hidup pada generasi penerus yaitu Brahmacari dan Grhastha Asrama. Dalam hal inilah berlaku semboyan pengalaman sebagai guru terbaik. Sukses dan gagal dalam hidupnya saat Brahmacari dan Grhastha seyogyanya menjadi bahan pelajaran untuk ditelaah oleh generasi selanjutnya.
Pengalaman yang sukses dan gagal itu sebagai suatu bahan pelajaran yang sangat berharga sebagai suatu pebandingan bagi generasi berikutnya. Tentunya dengan kajian-kajian mendalam. Karena situasi dan kondisi jaman sebelumnya dan jaman selanjutnya tidak sama. Cara sukses pada masa yang lalu tentunya tidak selamanya bisa diterapkan pada jaman selanjutnya. Demikian juga kegagalan yang pernah dialami jangan sampai terulang oleh generasi selanjutnya. 
II.      Pembahasan
2.1    Pengertian dan Pembagian Catur Asrama
Catur Asrama artinya empat lapangan atau lapisan hidup manusia sebagai tempat menimba pendidikan spiritual dan kehidupan material. Dalam pustaka Silakrama (dalam Subagiasta, 2007 :7), ada dijelaskan mengenai ajaran etika pendidikan agama Hindu mengenai Catur  asrama. Pembagian Catur asrama adalah Brahmacari asrama, Grhastha asrama, Wanaprastha asrama, dan bhiksuka/sanyasin asrama.
Adapun pengertian masing-masing pembagian Catur Asrama menurut Supeksa (2011), yaitu :
2.1.1    Brahmacari
Brahmacari berasal dari 2 kata , brahma dan cari . Brahma artinya ilmu pengetahuan suci dan Cari ( car ) yang artinya bergerak. Jadr brahmacari artinya bergerak di dalam kehidupan menuntut ilmu pengetahuan ( masa menuntut ilmu pengetahuan ). Dalam kitab Nitisastra II, 1 masa menuntut ilmu pengetahuan adalah maksimal 20 tahun, dan seterusnya hendaknya kawin untuk mempertahankan keturunan dan generasi berikutnya.
Brahmacari juga dikenal dengan istilah ” Asewaka guru / aguron-guron ” yang artinya guru membimbing siswanya dengan petunjuk kerohanian untuk memupuk ketajaman otak yang disebut dengan ” Oya sakti ” . Dalam masa brahmacari ini siswa dilarang mengumbar hawa nafsu sex ,karena akan mempengaruhi ketajaman otak. Untuk masa menuntut ilmu, tidak ada batasnya umur, mengingat ilmu terus berkembang mengikuti waktu dan zaman . Maka pendidikan dilakukan seumur hidup.
Dalam kitab Silakrama (dalam Supeksa, 2011), pendidikan seumur hidup dapat dibedakan menurut perilaku seksual dengan masa brahmacari. Dengan brahmacari dapat dibedakan menjadi 3 bagian, antara lain :
2.1.1.1 Sukla brahmacari artinya tidak kawin selama hidupnya . Contoh orang yang melaksanakan sukla brahmacari . Laksmana dalam cerita ramayana, bhisma dalam mahabarata, jarat karu dalam cerita adi parwa.
2.1.1.2 Sewala brahmacari artinya kawin hanya rekali dalam hidupnya walau apapun yang terjadi.
2.1.1.3 Tresna ( kresna brahmacari ) artinya kawin yang lebih dari satu kali , maksimal empat kali. Perkawinan ini diperbolehkan apabila istri tidak melahirkan atau istri tidak bisa melaksanakan tugas sebagai mana mestinya.
2.1.2  Grahasta
Grahasta merupakan jenjang yang kedua yaitu kehidupan pada waktu membina rumah tangga ( dari mulai kawin ). Kata Grahasta berasal dari dua kata. Grha artinya rumah, stha artinya berdiri. Jadi Grahasta artinya berdiri membentuk rumah tangga. Dalam berumah tangga ini harus mampu seiring dan sejalan untuk membina hubungan atas darar saling cinta mencintai dan ketulusan.
2.1.3 Wanaprasta
Wanaprasta terdiri dari dua kata yaitu ” wana ” yang artinya pohon, kayu, hutan, semak belukar dan ” prasta ” yang artinya berjalan, berdoa. Jadi wanaprasta artinya hidup menghasingkan diri ke dalam hutan. Mulai mengurangi hawa nafsu bahkan melepaskan diri dari ikatan duniawi.
2.1.4 Bhiksuka ( Sanyasin )
Kata bhiksuka berasal dari kata biksu yang merupakan sebutan pendeta Buda. Biksu artinya meminta-minta. Masa bhiksuka ialah tingkat kehidupan yang dilepaskan terutama ikatan duniawi, hanya mengabdikan diri kepada Tuhan ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa ).
2.2 Catur Asrama Konsep Hubungan Antar Generasi
Hubungan harmonis dalam kebersamaan itu terdiri dari unsur-unsur yang berbeda, tetapi perbedaan itu adalah perbedaan yang komplementatif. Artinya perbedaan yang dapat membangun  hubungan harmonis dinamis dan sinergis adalah perbedaan yang saling lengkap melengkapi. Seperti nasi dan lauk pauknya. Nasi berbeda dengan lauk pauknya, tetapi tanpa nasi lauk pauknya itu tidak banyak manfaatnya dan nasi tidak enak kalau tanpa lauk pauk. Demikianlah perbedaan yang saling lengkap melengkapi itu.
Catur Asrama adalah konsep Hindu yang menjadi dasar hubungan antar generasi. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian depan buku ini bahwa Catur Asrama ini adalah konsep hidup untuk mensukseskan empat tujuan hidup yang disebut Catur Purusha Artha. Catur Asrama sebagai tahapan hidup untuk  mensukseskan empat tujuan hidup secara bertahap pula. Dari tahapan hidup ini menyebabkan Catur Asrama sebagai konsep pembentukan generasi. Ada generasi Brahmacari Asrama, ada generasi Grhastha Asrama, ada generasi Wanaprastha Asrama dan ada generasi Sannyasin Asrama. Masing-masing Asrama memiliki Swadharma yang berbeda-beda dalam mensukseskan empat tujuan hidup tersebut. Perbedaan swadharma inilah yang menjadi dasar terjadinya hubungan yang saling lengkap melengkapi antar satu Asrama dengan Asrama yang lainnya. Brahmacari Asrama tidak akan sukses tanpa Grhastha Asrama. Demikian juga sebaliknya Grhastha Asrama dianggap gagal kalau Brahmacari Asrama yang dibinanya gagal mewujudkan swadharmanya sebagai Brahmacarin. Karena Grhastha Asrama swadharma utamanya melahirkan, memelihara dan mendidik Brahmacari yang menjadi tanggung jawabnya.
Asrama yg paling strategis posisinya menentukan keharmonisan antar Asrama dalam Catur asrama adalah Grahasta Asrama. Karena Grahasta Asrama ini merupakan posisi yang punya tanggung jawab berat mensukseskan swadharma Brahmacari Asrama. Karena kalau Brahmacari Asrama itu sukses melakukan swadharmanya maka Asrama berikutnya akan lebih mudah melaksanakan. Kalau dalam Brahmacari Asrama seseorang gagal dalam mewujudkan swadharmanya, maka kesulitan demi kesulitan akan menghadang dalam Asrama berikutnya. Swadharma Brahmacari Asrama menurut Athavaveda XI. 5. 1 adalah mengupayakan untuk mengikuti semua sifat-sifat Devata. Maksudnya seorang Brahmacari menjadikan dirinya seorang yang religius. Sifat religius tersebut memang menjadikan dasar membangundiriyang berkwalitas. Karena itu dalam Atharvaveda  XI. 5. 17 dinyatakan seorang Raja akan sukses melindugi bangsanya kalau saat Brahmacari ia berhasil mewujudkan Swadarmanya. Demikian juga seorang Guru atau Acarya akan sukses menjalakan swadarmanya  sebagai pendidik kalau saat sebagai Brahmacari ia sukses menjadi Brahmacari yang baik.
Brahmacari ngarania sang mangabiasa sang hyang sastra tur sang wruh ring kalingganing sang aksara.
Artinya : Brahmacari  namanya orang yang telah menjadikan belajar sebagai tradisi hidupnya untuk  memahami ilmu pengetahuan suci dan yang paham akan hakekat pemakaian aksara.                                                (Agastya Parwa)
Ini artinya seorang Brahmacari adalah orang yang sudah berhasil menjadikan kegiatan belajar itu sebagai kebiasaan atau tradisi. Kalau belajar itu sudah mentradisi dalam kehidupan sehari-hari dan paham menggunakan aksara, mereka itulah yang dapat disebut Brahmacari.Suksesnya seorang Brahmacari umumnya sangat tergantung dari swadarma  mereka yang berposisi sebagai Grhastha yang bertanggung jawab pada Brahmacari bersangkutan. Jadinya Brahmacari dan Grhastha itu harus saling berhubungan yang sifatnya timbal balik sesuai swadarma masing-masing. Misalnya Brahmacari memiliki kewajiban untuk berbhakti pada orang tuanya. Kalau ia berbhakti pada orang tuanya dijanjikan akan memperoleh empat pahala yaitu Kirti, Bala, Yusa dan Yasa. Hal ini dinyatakan dalam Sarasamuccaya 250. Kirti itu pekerjaan yang memberikan kemakmuran, Bala itu kekuatan lahir batin, Yusa itu maksudnya berumur panjang dan Yasa mampu berbuat jasa dalam hidupnya ini. Kalau seorang Brahmacari dapat dengan sungguh-sungguh berbhakti pada orang tuanya yang tergolong Grhastha Asrama maka Brahmacari tersebut akan mendapatkan empat pahala mulia tersebut. Demikian juga dalam Manawa Dharmasastra II. 23 menyatakan bahwa seorang putra yang masih tergolong Brahmacari berbhakti pada ibunya ia akan memperoleh pahala kebahagiaan di bumi ini, dengan berbhakti pada ayahnya ia akan memperoleh pahala mulia di bhuwah loka. Kalau berbhakti pada gurunya (Acarya) ia akan mencapai Brahma Loka. Selanjutnya dalam kitab yang sama pada sloka 234 menyatakan bahwa semua kewajibannya akan dapat dilakukan dengan teratur bagi anak (Brahmacari) yang dapat berbhakti dengan baik pada ibu, ayah dan gurunya. Yajna akan sia-sia bagi Brahmacari yang tidak berbhakti pada ibu, ayah dan gurunya.
2.3    Catur Asrama Dalam Pendidikan Jaman Sekarang
Tujuan hidup menurut ajaran Hindu sebagaimana dinyatakan dalam Brahma Purana adalah untuk mencapai dharma, artha, kama dan moksha. Empat tujuan hidup tersebut harus dicapai secara bertahap, melalui sistem sosial yang disebut asrama yakni brahmacari, Grahasta, wanaprasta dan bhiksuka atau sanyasin. Pada tahapan hidup brahmacari tujuan hidup lebih diutamakan pada pencapaian dharma, dalam hal ini pencarian atau penguasaan ilmu pengetahuan dan iptek. Berbeda halnya pada jenjang grehastha asrama yang lebih memprioritaskan pada pencapaian artha dan kama. Berbeda pula dalam tahapan hidup wanaprastha dan bhiksuka asrama. Pada jenjang wanaprastha dan bhiksuka, umat mempersiapkan diri untuk mencapai kelepasan dengan ikatan duniawi. Dalam konteks kekinian, masih relevankah konsep Catur Asrama ini, itulah yang menjadi pertanyaan kita sebagai generasi muda Hindu.
Spirit Catur asrama sesungguhnya masih tetap penting dimaknai dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang. Artinya, dalam kehidupan masyarakat yang dipengaruhi oleh berbagai perubahan, spirit nilai yang dikandung dalam konsep tersebut menjadi penting dipedomani. Dalam tahapan hidup brahmacari, misalnya, generasi muda Hindu memang sudah seharusnya berkonsentrasi penuh untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan berbagai keterampilan diharapkan dapat dijadikan bekal dalam mengarungi hidup berumah tangga (Grahasta). Dalam tahapan sedang menuntut ilmu, hal-hal yang seharusnya baru bisa dilakukan saat Grahasta hendaknya dihindari, seperti hubungan suami-istri.
Tugas seorang brahmacari adalah belajar, menuntut ilmu setinggi-tingginya. Hubungan seks baru boleh dilakukan manakala seseorang sudah menginjak masa Grahasta (berumah tangga). Hubungan seks yang benar dalam masa Grahasta adalah untuk memperoleh keturunan yang suputra. Sementara pendidikan menjadi hal yang sangat penting bagi peningkatan mutu SDM. Bagaimana bisa bersaing jika SDM Hindu tidak berkualitas. Melalui pendidikanlah kualitas diri bisa ditingkatkan. Pada saat brahmacari-lah ilmu pengetahuan mesti digali sebanyak-banyaknya. Tetapi bukan berarti belajar berhenti pada masa brahmacari. Belajar tetap sepanjang hayat.
Menurut Budi Utama (dalam Bali Post Online, 2005), pendidikan menjadi sesuatu yang penting dalam Hindu, sehingga anak yang dilahirkan menjadi generasi yang suputra. Bahkan, proses pendidikan (pendidikan prenatal) itu sudah berlangsung saat terjadi pembuahan. Maka, dalam ritual Hindu dikenal istilah magedong-gedongan. Selama masa kehamilan, dalam teologi Hindu ada sesuatu yang bisa dipedomani, misalnya si ibu tidak boleh dibuat terkejut dan sebagainya. Ketika lahir, ada tahapan-tahapan perlakukan terhadap anak-anak. Kapan ia diperlakukan sebagai raja --semua kemauannya dituruti. Kapan ia diperlakukan sebagai ''budak'', bisa disuruh untuk mengerjakan sesuatu, dan kapan ia dijadikan sebagai teman. Umumnya, ketika anak-anak menginjak usia remaja orangtua memperlakukannya sebagai teman. Berbagai kesulitan yang dialami, dicarikan jalan pemecahannya.
Jadi pada masa brahmacari itulah, kata Budi Utama, kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) saatnya dikembangkan. Dalam hal ini orangtua sangat besar perannya dalam pengembangan semua kecerdasan itu. Terutama kecerdasan spiritual, orangtua memiliki peran yang strategis dalam mengembangkannya. Karena itu, di rumah, anak-anak mesti dilibatkan pada hal-hal yang bersifat spiritual seperti dalam pembuatan bahan-bahan ritual sehingga SQ-nya berkembang dengan baik.
Dalam masa brahmacari, semua kecerdasan hendaknya dikembangkan secara seimbang, sehingga anak-anak menjadi generasi yang utuh. Lagi pula, keberhasilan anak-anak dalam melakoni hidupnya kemudian (masa Grahasta) tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual. Dua kecerdasan lainnya yakni EQ dan SQ, juga besar perannya. Sementara pada masa brahmacari, umat lebih fokus pada pencarian artha dan kama. Namun, dalam pencarian artha dan kama itu dasarnya tetap dharma. Pencarian artha itu selain untuk melangsungkan kehidupan, juga untuk membiayai pendidikan anak-anak, selain didana-puniakan dan disisihkan untuk kepentingan yadnya.
Memasuki masa Grahasta, misalnya, dengan berbekal ilmu dan keterampilan yang memadai, seseorang mendapat profesi menjanjikan dan atau mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Melalui media itu umat dapat mencari artha dan kama. Namun, ingat dalam pencarian artha dan kama, dharma-lah yang tetap menjadi landasannya.Menapaki kehidupan wanaprasta dalam konteks kekinian tentu tidak harus menyepikan diri ke hutan. Tetapi, di tengah kehidupan yang penuh dengan ingar-bingar ini, umat diharapkan mampu menyepikan diri dari gejolak hawa nafsu.
Selain itu pada saat ini, asrama tak dapat dihidupkan secara tepat sesuai dengan rincian aturan kuno, karena kondisinya telah banyak sekali berubah tetapi dapat dihidupkan kembali dalam semangatnya terhadap kemajuan yang besar dari kehidupan modern. Pada tahapan ini tak seorang pun harus tugas orang lain. Siswa atau Brahmacari hendaknya tidak melakukan tugas seorang rumah tangga pertapa ataupun sannyasa. Kepala rumah tangga hendaknya tidak melakukan tugas seorang Brahmana, wanaprastha atau sannyasin. Seorang sannyasin hendaknya tidak lagi mencari kenikmatan dari kepala rumah tangga.
Kedamaian dan aturan akan berlaku dalam masyarakat, hanya apabila semua melaksanakan kewajiban masing-masing secara efektif. Penghapusan warna dan asrama akan memotong akar dari kewajiban social masyarakat. Bagaimana bangsa dapat mengharapkan untuk hidup bila warnasrama dharma tidak dilaksanakan secara tegar. Murid-murid sekolah dan perguruan tinggi seharusnya menjalani suatukehidupan yang murni dan sederhana. Kepala rumah tangga seharusnya menjalani kehidupan sebuah Grahasta yang ideal. Ia seharusnya melaksanakan pengendalian diri, welas asih, toleransi, tidak merugikan, berlaku jujur, dan kewajaran dalam segala hal. Mereka yang mengalami kesulitan menjalani kehidupan tahap ketiga dan tahap keempat dari asrama ini, hendaknya tetap pada dua asrama lainnya secara bertahap menarik dunianya dari kehidupan duniawi dan melakukan pelayanan tanpa pamrih, belajar dan bermeditasi.
Catur Asrama dalam era pendidikan modern sangat relevan oleh karena sang pelajar dituntut disiplin dalam menimba segala pengetahuan. Jika tidak, maka gagallah pelajar itu untuk meraih cita-citanya, tidak hanya itu sang pelajar juga dituntut disiplin dalam percintaan. Semasa belajar dilarang untuk melakukan hubungan seks (sukla Brahmacari). Jadi intinya bahwa pada masa belajar hanya aturan aguron-guron yang wajib ditaati. Sedangkan yang lainnya dikesampingkan, tujuannya agar tercapai kemantapan ilmu kerohanian dan ilmu lainnya sesuai yang diarahkan dalam masa belajar. (Subagiasta, 2006 :68).
Brahmacari merupakan jenjang atau tahapan awal untuk menumbuhkan karakter seseorang. Brahmacari dalam kehidupan sekarang dapat dilihat dari pendidikan formal dimulai dari pendidikan Taman Kanak-Kanak sampai pada Perguruan Tinggi, sedangkan pendidikan nonformal dimulai dari lingkungan keluarga dan masyarakat misalnya diadakannya pasraman-pasraman. Selain itu, pada jaman modern sekarang tidak adanya batasan-batasan tertentu dalam masa menuntut ilmu pengetahuan (Brahmacari), pendidikan bisa dilakukan seumur hidup selama orang itu mau dan mampu menuntut ilmu. Menuntut ilmu juga sebagai bekal dalam kehidupan masa mendatang seperti masa Grahasta yaitu masa berumah tangga. Pada kehidupan inilah kita sebagai seorang Grahasta dituntut untuk menggunakan ilmu pengetahuan yang kita pelajari pada masa Brahmacari agar kesulitan-kesulitan dalam kehidupan masa berumah tangga ini dapat disiasati dengan baik. Menginjak pada masa Wanaprasta pada jaman sekarang, tidak dapat dilakukan dengan mengasingkan diri kedalam hutan seperti pada jaman dahulu. Tetapi dapat dilakukan dengan jalan melaksanakan swadharma sebagai anggota masyarakat yang baik. Terakhir, dalam masa bhiksuka kita dituntut untuk dapat mengekang hawa nafsu dan lepas dari ikatan duniawi seperti menundukkan segala nafsu-nafsu yang ada dalam diri manusia.

III.    Penutup
Demikianlah Catur Asrama yang merupakan empat tingkatan hidup yang bersifat formal dan tidak kaku dalam penerapannya da;am kehidupan sehari-hari. Dharma adalah dasar untuk mendapatkan artha, kama dan moksha. Tetapi sebaliknya, tanpa dharma artha, kama dan moksha, dharmapun tidak bisa dijalankan dengan sempurna. Tidak ada swadarma (kewajiban) atau kebanaran yang dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa artha dan kama. Misalnya menuntut ilmu pengetahuan ataupun berdana punia adalah perbuatan dhara tetapi kesemuanya itu baru dapat dilakukan kalau ada artha dan kama (keinginan atau semangat). Demikian pula Moksha yang berasal dari bahsa sansekerta dari urat kata : mucch artinya bebas tanpa ikatan. Kebebsan tersebut adalah kenyataan yang setiap saat diperjuangkan oleh manusia. Untuk mendapatkan kebebasan yang paling ideal, mebutuhkan perjuangan yang sungguh-sungguh dan bertahap.
Brahmacari merupakan jenjang atau tahapan awal untuk menumbuhkan karakter seseorang. Brahmacari dalam kehidupan sekarang dapat dilihat dari pendidikan formal dimulai dari pendidikan Taman Kanak-Kanak sampai pada Perguruan Tinggi, sedangkan pendidikan nonformal dimulai dari lingkungan keluarga dan masyarakat misalnya diadakannya pasraman-pasraman. Selain itu, pada jaman modern sekarang tidak adanya batasan-batasan tertentu dalam masa menuntut ilmu pengetahuan (Brahmacari), pendidikan bisa dilakukan seumur hidup selama orang itu mau dan mampu menuntut ilmu. Menuntut ilmu juga sebagai bekal dalam kehidupan masa mendatang seperti masa Grahasta yaitu masa berumah tangga. Pada kehidupan inilah kita sebagai seorang Grahasta dituntut untuk menggunakan ilmu pengetahuan yang kita pelajari pada masa Brahmacari agar kesulitan-kesulitan dalam kehidupan masa berumah tangga ini dapat disiasati dengan baik. Menginjak pada masa Wanaprasta pada jaman sekarang, tidak dapat dilakukan dengan mengasingkan diri kedalam hutan seperti pada jaman dahulu. Tetapi dapat dilakukan dengan jalan melaksanakan swadharma sebagai anggota masyarakat yang baik. Terakhir, dalam masa bhiksuka kita dituntut untuk dapat mengekang hawa nafsu dan lepas dari ikatan duniawi seperti menundukkan segala nafsu-nafsu yang ada dalam diri manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Bali Post Online. 2005. ''Catur Asrama'' dalam Konteks Kekinian
Kejarlah Ilmu, ''Sepikan'' Diri dari Gejolak Hawa Nafsu. Tersedia pada http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/3/30/bd1.htm. Diakses pada tanggal 1 Desember 2013
Ngurah, I Gusti Made, dkk. 1999. Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Surabaya : Paramita
Sivananda, Swami. 1997. Intisari Ajaran Konsep Hindu. Surabaya : Paramita
Subagiasta. 2006. Teologi, Filsafat, Etika dan Ritual. Surabaya : Paramita
_________. 2007. Etika Pendidikan Agama Hindu. Surabaya : Paramita
Supeksa, Ketut. 2011. Catur Asrama Dalam Agama Hindu. Tersedia pada http://supeksa.wordpress.com/2011/02/26/catur-asrama-dalam-agama-hindu/. Diakses pada tanggal 1 Desember 2013
Wiana. 2007. Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Surabaya : Paramita







ANALISIS BERITA TENTANG KEBUDAYAAN

MATA KULIAH JURNALISTIK
ANALISIS BERITA TENTANG KEBUDAYAAN
Dosen Pengampu : I Ketut Pasek Gunawan, M.Pd.H




IHDN Denpasar

Oleh:
Nama    : Luh Widastri               
NIM    : 10.1.1.1.1.3820
Kelas     : PAH A VII



Jurusan Pendidikan Agama Hindu
Fakultas Dharma Acarya
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
2013


TARI GAMBUH SEBAGAI PENOLAK BALA
(Oleh : Luh Widastri)

    Setiap 2 tahun sekali masyarakat Desa Anturan melaksanakan Upacara Pujawali di Pura Kahyangan Desa yang diawali dengan melaksanakan Pujawali di Pura Dalem. Dalam pelaksanaan pujawali tersebut terdapat pementasan Tari Gambuh yang dianggap sakral oleh msyarakat setempat.
    Tepat, Selasa (5/11) kemarin adalah prosesi Munggah Canang yang ditutup dengan pementasan Tari Gambuh pada malam harinya. Tradisi pementasan Tari Gambuh ini berlangsung secara turun menurun serangkaian dengan piodalan di Pura Kahyangan Desa. Pementasan Tari Gambuh dipercaya dapat menolak bala dan sebagai pengiring upacara. “Tari Gambuh ini adalah tari yang sangat sakral, karena dipercaya dapat menolak bala atau berbagai macam penyakit serta ditarikan oleh para Teruna Desa” ungkap Kelian Desa Pakraman Anturan, Jro I Ketut Wedera. Selain itu menurut Komang Mariana selaku salah satu penari Gambuh mengungkapkan bahwa ia merasa sangat senang dapat berpartisipasi dalam pementasan ini sekaligus sebagai salah satu bentuk yadnya. Penonton juga terbius dalam menyaksikan pementasan Tari Gambuh terbukti dengan antusias dan histerisnya masyarakat desa yang ikut serta menyaksikan pementasan Tari Gambuh (klp4).

I.    PENOKOHAN
1.    Jro I Ketut Wedera (Kelian Desa Pakraman Anturan)
2.    Komang Mariana (salah satu penari Tari Gambuh)
3.    Klp4 (Tim Redaksi)

II.    NILAI BERITA
1.    Aktualitas
Berita ini terjadi pada hari selasa, 5 November 2013 dan sudah dimuat pada hari Rabu, 6 November 2013. Sehingga ada nilai keterkenalan.
2.    Kedekatan
Unsur kedekatan dalam berita ini adalah Tari Gambuh dilaksanakan di Desa Anturan sehingga masyarakat disekitar Desa Anturan akan merasa memiliki kedekatan secara geografis.
3.    Keterkenalan
Pementasan Tari Gambuh hanya dilaksanakan pada saat Upacara Pujawali di Pura Kahyangan Desa. Tari Gambuh ini sebagian hanya dikenal oleh masyarakat lokal khususnya masyarakat di Desa Anturan. Jadi unsure keterkenalan dalam berita ini masih belum bisa ditentukan secara pasti.
4.    Dampak
Berita ini tidak memberikan dampak yang terlalu besar karena yang melaksanakan tradisi ini adalah masyarakat Desa Anturan yang menjadi tradisi turun temurun. Selain itu masing-masing desa memiiki tradisi dan keunikan tersendiri disesuaikan dengan desa, kala, patra.
5.    Human Interest
Berita mengenai Tari Gambuh sebagai penolak bala sangat menarik simpati dari masyarakat. Dimulai dari penari tarian ini yang ditarikan oleh Teruna Desa serta tarian ini dapat menolak bala dan sebagai pengiring upacara.



ARTIKEL TENTANG KEBUDAYAAN

MATA KULIAH JURNALISTIK
ARTIKEL TENTANG KEBUDAYAAN

Dosen Pengampu : I Ketut Pasek Gunawan, M.Pd. H






Oleh :
Luh Widastri
10.1.1.1.1.3820





JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2013



Makna Filosofis Bahan-bahan dalam Canang Sari Kian di Lupakan

Sembahyang di pura bagi umat Hindu pada umumya menggunakan simbol sakral berupa sarana persembahyangan misalnya dupa, canang, bunga, kwangen, daksina dan lain-lain. Canang sari adalah salah satu sarana sembahyang yang sangat sederhana tetapi memiliki banyak makna yang terkandung didalamnya. Hampir setiap harinya, canang sari dipergunakan oleh umat Hindu untuk melaksanakan Yajna. Dalam suatu persembahyangan, canang sari tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Sebab tidak semua orang dapat dan mampu untuk dapat mempersembahkan sesajen atau haturan berupa prani dan lainnya. Dengan menghaturkan canang sari telah dianggap cukup dalam persembahyangan. Dengan demikian, canang sari adalah sarana terkecil dan paling sederhana dari suatu persembahyangan kehadapan Tuhan. Dalam kesehariannya umat Hindu selalu menghaturkan canang sari sebagai wujud sujud bhakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Selain itu canang sari merupakan sarana upakara yang paling sederhana namun sangatlah penting. Dalam bhagawad Gita IX.26, menyebutkan :
Paham puspam phalam toyam
Yo  me bhaktija prayacchati
Tat aham bhakty-upahrtam
Asnami prayatatmanah

Terjemahan :
Siapapun yang dengan sujud bhakti kehadapanKu mempersembahkan sehelai daun, sebiji buah-buahan, setrguk air, Aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci.

Jika dicermati petikan sloka Bhagawad Gita tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan canang sari merupakan saramna upacara yang sudah cukup lengkap walau dalam sloka kecil, karena isi canang sari umunya terdiri dari daun, bunga, buahdan biji yang semua bahan itu memiliki nilai filosofi masing-masing.
Pada saat ini, banyak kita lihat bahwa canang sari di jual di kawasan kota Singaraja. Penjualan canang sari dijadikan sebagai matapencaharian bagi masyarakat Singaraja kerena terlihat banyak pedagang canang sari di beberapa tempat apalagi menjelang hari raya umat Hindu. Tetapi banyak pula kita jumpai, penjualan canang sari terkadang tidak lengkap bahan-bahan yang dipergunakan. Menurut survey ketidaklengkapan canang sari seperti tidak adanya porosan serta plawa padahal itu adalah unsur yang harus ada dalam pembuatan canang sari. Selain itu, menurut wawancara dari beberapa teman, diakui bahwa ketika membeli canang sari, bahan-bahannya tidak lengkap seperti porosan dan plawa seta bunga yang di pergunakan terkadang tidaklah bersih dan sudah busuk.
Sesungguhnya ini hal yang sangat memprihatinkan karena terkadang canang sari yang demikian juga akan tetap laku dipasaran. Pada jaman sekarang kebanyakan para ibu rumah tangga atau hampir semua kalangan umat Hindu hanya akan membeli canang sari yang sudah jadi saja tanpa memperhatikan makna filosofi dari bahan-bahan dalam pembuatan canang sari. Pada akhirnya canang sari yang di pergunakan dalam persembahnyangan sudah jauh dari makna filosofinya.       
Kebanyakan canang sari yang diperjual-belikan itu tidak terdapat plawa dalam canang sari tersebut. Padahal plawa adalah salah satu komponen dalam canang sari. Plawa memiliki makna sabagaimana disebutkan dalam lontar Yajna Prakerti bahwa “plawa” berupa “kayu mas” bahasa bali adalah lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci sebab dalam pemujaan, kehadapan Tuhan sesuai manifestasinya, haruslah ditumbuhkan pikiran hening suci. Karena pikiran yang tumbuh dari kesucian dan keheningan itulah yang dapat menangkal segala bentuk pengaruh negatif atau godaan nafsu duniawi. Dengan pikiran yang hening suci, akan dapat menarik dan menghadirkan serta selanjutnya mendapatkan waranugraha Sang Hyang Widhi.
Sebagai umat Hindu hendaknya memperhatikan segala bahan yang dipergunakan dalam pembuatan canang sari agar tidak mengurangi makna yang ada. Apalagi banyak sekali pedagang canang sari yang memang kurang paham dengan hal ini, dan sudah tentu kita sebagai pembeli yang harus jeli dalam membeli canang sari yang diperjual-belikan oleh pedagang canang sari di kota Singaraja. Jangan sampai melupakan hal yang terpenting yaitu makna filosofis dari setiap bahan yang ada dalam canang sari. Dan diharapkan pula kedepannya ada pembinaan-pembinaan mengenai hal ini yang mengikutkan pedagang

I.PENOKOHAN
1. Kelompok IV (Redaksi)

II. ALUR
Alur yang digunakan adalah alur maju karena menceritakan tentang sebab yang berlanjut dengan akibat. Sebab canang sari dipergunakan setiap hari dalam persembahyangan maka akibatnya banyak pedagang canang sari di kawasan kota Singaraja yang sampai melupakan makna filosofis dari masing-masing bahan dalam canang sari tersebut.

III. PESAN
Pesan yang di sampaikan adalah hendaknya jangan sampai melupakan makna filosofis dari bahan-bahan dalam canang sari agar tidak mengurangi makna itu sendiri sebagai wujud bhakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa.

“KEGIATAN SELAMA PRAKTEK KEMAMPUAN MENGAJAR/PRAKTIKUM SEKOLAH”

MATA KULIAH JURNALISTIK
“KEGIATAN SELAMA PRAKTEK KEMAMPUAN MENGAJAR/PRAKTIKUM SEKOLAH”
Dosen Pengampu : I Ketut Pasek Gunawan, M.Pd.H





IHDN Denpasar

Oleh:
Nama    : Luh Widastri               
NIM    : 10.1.1.1.1.3820/03
Kelas     : PAH A 7



Jurusan Pendidikan Agama Hindu
Fakultas Dharma Acarya
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
2013



Praktikum Sekolah atau Praktek Kemampuan Mengajar sepertinya sudah tidak asing lagi kita dengar di kalangan Perguruan Tinggi. Bahkan orang-orang sekarang sudah banyak mengetahui apa itu yang namanya Praktikum Sekolah walaupun tidak mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi. Sudah pasti yang namanya PKM dilaksanakan di sekolah, mulai dari jenjang SD, SMP, hingga SMA/SMK. Hal ini tergantung dari lembaga, karena sudah ditentukan berdasarkan beberapa pertimbangan dan kesepakatan dari panitia penyelenggara PKM. Untuk tahun ini, pihak lembaga memutuskan tempat PKM berdasarkan absensi, sehingga saya yang bernomor urut awal mendapatkan tempat praktik di SD (Sekolah Dasar). Awalnya cukup terkejut juga mengenai hal ini, namun saya secara pribadi yakin, apapun yang saya dapatkan itu sudah hal terbaik untuk saya. Tepatnya kami bersepuluh orang dari absensi 1-10 mendapatkan tempat praktik yang sama yaitu SD No. 1 Paket Agung yang terletak di Jalan Veteran No.6 Singaraja Bali.
SD No. 1 Paket Agung merupakan salah satu Sekolah Dasar favorit, mengapa saya berani mengatakan seperti itu?, karena dari beberapa informasi yang saya dapatkan dari guru di sekolah ini, banyak orang tua siswa yang datang ke SD N.1 Paket Agung untuk mendaftarkan anak-anak mereka agar dapat diterima di sekolah ini sehingga sulit untuk menolak keinginan para orang tua tersebut. Awalnya saya berpikir, kalau anak-anak yang bersekolah di sekolah ini dari wilayah Banjar Paketan dan sekitarnya seperti Beratan dan Liligundi, tetapi saya keliru karena tidak sedikit siswa yang jarak rumah dengan sekolahnya itu cukup jauh, seperti Kerobokan, Pemaron, dan Panji. Atas dasar itulah dalam satu kelas di sekolah ini terdiri dari banyak siswa dan dapat dikatakan kelas gemuk. Saya bangga mendapatkan tempat praktik di sekolah ini, menjadi suatu kebanggaan tersendiri karena sekolah ini adalah sekolah tertua di Bali. Sekolah ini turut andil dalam kelahiran Presiden Soekarno. Bapak dari Soekarno pernah menjadi guru di SD. No 1 Paket Agung. Selain SD. No 1 Paket Agung, di wilayah ini dalam tempat yang sama juga terdapat SD. No 2 Paket Agung yang berumur lebih muda.
Pertama kali, saya menginjakkan kaki di sekolah ini, perasaan saya cukup degdegan karena sekolah ini memiliki aura tersendiri. Ketika itu di awal bulan Agustus saya bersama beberapa orang teman mengadakan observasi awal. Kesan pertama memasuki areal sekolah ini adalah guru serta pegawainya yang sangat ramah dan sangat antusias dengan kedatangan kami. Kami diterima dengan baik, sehingga 2 hari setelah itu kami dapat melaksanakan penyerahan mahasiswa PKM yang didampingi oleh Pembimbing kami dengan cukup lancar. Hari pertama setelah penyerahan kami diperkenalkan dengan guru-guru yang mengajar di sekolah itu oleh Ibu Kepala Sekolah. Selain itu saya dan teman-teman mengadakan pengenalan lingkungan di wilayah sekolah sambil melihat-lihat keadaan kelas masing-masing. SD No.1 Paket Agung adalah sekolah yang bernuansa Hindu dan Budi Pekerti, dilihat dari kebiasaan siswanya mengucapkan salam panganjali kepada semua guru dan pegawai. Banyak kegiatan yang sudah saya lakukan disekolah ini mulai dari kegiatan mengajar, sembahyang bersama, mengawasi gerak jalan, dan baru beberapa hari ini ada kegiatan jeda semester.
Ada beberapa kejadian ataupun kegiatan selama saya menjadi guru praktik di sekolah ini. Sesuai dengan kesepakatan bersama Guru Pamong, saya ditugaskan  mengajar di kelas V, dimana ruangan kelas ini merupakan bangunan inti dari sekolah rakyat pada zaman Belanda. Ruang kelasnya memiliki aura yang berbeda dengan ruang kelas lainnya. Pertama kali saya memasuki kelas ini untuk mengajar Agama Hindu, saya diantar oleh Guru Pamong. Kemudian saya memperkenalkan diri sebagai guru paraktik yang selama 3 bulan kedepan akan mengajar Agama Hindu di kelas tersebut. Seluruh siswa kelas V sangat antusias dengan kedatangan saya. Perasaan saya begitu degdegan pertama kali mengajar, tetapi saya tetap mencoba untuk tenang. Awalnya anak-anak kelas V sangat sulit untuk diatur, akan tetapi seiring berjalannya waktu, saya bisa beradaptasi dengan mereka. Jika ada orang yang berpikir praktik di Sekolah Dasar itu mudah, saya rasa itu kurang tepat karena setelah saya terjun langsung mengajar di SD, pengelolaan kelaslah yang sangat sulit karena siswanya yang tergolong masih anak-anak. Tidak dapat dipungkiri bahwa pertanyaan dari anak-anak kelas V berbobot walaupun pada saat mengajukan pertanyaan kalimat pertanyaan yang mereka gunakan masih sangat sederhana. Tetapi saya sebagai guru praktik mengetahui bahwa siswa itu memiliki kelebihan masing-masing. Syukur selama ini saya selalu dapat mengajar dengan lancar menggunakan metode mengajar saya sendiri, siswa pun merasa senang walaupun seringkali dalam pembelajaran ada beberapa siswa yang sering mengganggu temannya sehingga tidak segan-segan saya selalu memberikan teguran dengan cara memberikan pertanyaan yang sesuai dengan materi pembelajaran pada saat itu kepada siswa tersebut. Siswa kelas V berjumlah 33 orang, 30 orang beragama Hindu, 2 orang beragama Islam dan 1 orang beragama Kristen.
Selain kelas V, saya juga pernah mengajar di kelas VI dengan mata pelajaran Bahasa Daerah. Siswa kelas V dan VI terkenal nakal dan susah diatur, sama halnya ketika saya memasuki ruang kelas V untuk pertama kali, begitu juga di kelas VI yang keadaan kelasnya hampir sama dengan dikelas V. Bila dibandingkan dengan siswa-siswa yang pernah saya ajar, siswa kelas IV jauh lebih mudah diatur tetapi kendalanya ada pada siswa yang terkadang sangat cerewet dengan suka menanyakan hal-hal diluar pelajaran berulang-ulang kali sehingga membuat saya merasa bosan menjawab pertanyaan dari siswa tersebut. Tetapi sebagai seorang guru praktik saya berusaha untuk bersabar mengingat umur mereka yang masih tergolong anak-anak. Diawal memasuki kelas IV, saya ditugaskan untuk mengajar mata pelajaran Matematika karena pada saat itu guru Matematika berhalangan untuk hadir. Walaupun sedikit bertentangan dengan basic saya sebagai seorang guru jurusan Agama Hindu, saya tetap mencoba mengajar Matematika dengan baik. Ada salah satu siswa di kelas IV yang sangat cerewet dan suka sekali memotong pembicaraan. Hal itu membuat saya agak kesal, sehingga saya memberikan soal kepada siswa tersebut untuk dikerjakan kedepan dan terbukti siswa itu tidak bisa menjawab karena menurut pandangan saya siswa itu lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengobrol dibandingkan dengan memperhatikan guru yang sedang memberikan materi dikelas. Nah, disanalah kesempatan saya untuk memberikan teguran kepada anak tersebut serta memotivasi anak-anak yang lainnya agar tidak mencontoh sikap yang tidak baik dari teman-temannya.
Selain kegiatan mengajar, ada juga beberapa kegiatan non mengajar yang saya dan teman-teman praktik laksanakan. Salah satunya, kegiatan jeda semester yang rutin dilaksanakan setelah pelaksanaan ulangan tengah semester. Banyak lomba yang diadakan seperti lomba mewarnai, balon berpasangan, pancing botol, makan kerupuk, pembacaan undang-undang dan doa serta lomba kebersihan kelas. Kegiatan lomba ini berjalan dengan lancar karena dukungan dari guru dan partisipasi dari seluruh warga sekolah.
Ada pula temuan-temuan yang saya dapatkan, salah satunya adalah ada salah seorang siswa yang kurang dalam pembelajaran tetapi siswa itu unggul di bidang kesenian. Selain itu kelemahan dari siswa ini ketidaktepatan pada saat membaca, kemungkinan karena kurang teliti. Setelah ditelusuri, anak ini diluar sekolah memang malas belajar. Dia lebih suka menghabiskan waktunya untuk bermain. Selain itu ada pula siswa yang sangat nakal, satu sisi siswa ini suka ribut serta suka mengganggu temannya yang sedang belajar, namun disisi lain anak ini sebenarnya mempunyai kelebihan yaitu kecepatan dalam menangkap pelajaran. Terbukti ketika saya mengajar dia bercanda tetapi ketika saya memberikan  pertanyaan dia menjawab dengan benar walaupun kurang sempurna tanpa dibantu oleh teman-temannya. Selain itu kelemahannya terletak pada perilaku yang terkadang kurang sopan terhadap guru. Melihat hal tersebut saya selalu memberikan teguran-teguran kepada anak yang bersangkutan. Sehingga pada suatu kesempatan ketika saya bimbingan mengenai RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) , saya sempat menanyakan hal ini kepada guru pamong dan ternyata anak ini memang sangat nakal tidak hanya disekolah tetapi juga di luar sekolah. Orang tuanya pernah datang ke sekolah untuk menyerahkan anak ini agar dididik dengan cara apapun, karena orang tua dari anak ini sudah merasa tidak sanggup merubah sikap dan perilakunya tersebut. Disinilah peran dari guru sangat diharapkan agar anak ini dapat berubah secara bertahap.
Hal lain yang juga berkesan adalah kebiasaan siswa yang suka mengucapkan salam panganjali kepada guru yang ditemuinya dan dilanjutkan dengan bersalaman. Siswa ini sudah dari awal dididik untuk bersikap hormat kepada siapapun, sehingga hal itu sudah menjadi suatu kebiasaan di SD No. 1 Paket Agung. Seperti biasa sesudah melaksanakan pembersihan dikelas masing-masing, siswa SD No. 1 Paket Agung berdatangan ke Padmasana untuk mebhakti sekaligus nunas tirta. Bagi siswa yang piket pada hari itu bertanggung jawab untuk mempersiapkan segala sarana yang diperlukan. Setelah itu baru dilanjutkan dengan sembahyang bersama dilapangan sekolah yang iikuti oleh semua warga sekolah.
Saya dan teman-teman merasa nyaman praktik di sekolah ini, walaupun ada beberapa siswa yang sering membuat kami kesal tetapi hal itu tidak membuat kami putus asa. Karena diawal kami sudah mengetahui bahwa sebagai seorang guru mengemban tugas yang berat. Kami merasa bangga menjadi guru walaupun masih bertahap sebatas guru praktik. Hal itu tidak mengurangi rasa senang kami bisa diberikan kesempatan untuk berbaur dengan siswa. Itulah beberapa kejadian dan pengalaman saya menjadi guru praktik di SD No.1 Paket Agung.



Jumat, 03 Januari 2014

SAIVA SIDDHANTA 1 ( TUGAS UTS )

                                                            SAIVA SIDDHANTA 1
                                                                   TUGAS UTS



Soal :
1.    Jelaskan proses penyebaran Siwa Siddhanta dari India sampai ke Bali !
2.    Sebutkan dan jelaskan sekte-sekte yang ada dalam Siwa Siddhanta !
3.    Jelaskan bentuk kristalisasi Siwa Siddhanta di Bali !
4.    Apakah saudara beragama Hindu ? Jelaskan !
5.    Bagaimana anda menyikapi terhadap adanya Sampradaya Krisna dan Saibaba dalam Konsep Siwa Siddhanta ?

Jawaban :
1.    Proses penyebaran Siwa Siddhanta dari India sampai ke Bali adalah diawali dari datangnya bangsa arya dari Endo Jerman 5000 SM di hulu Sungai Sindhu yaitu di Punjab dan sebagian berada di Iran. Bangsa dravida yang telah mengenal ajaran Siva dengan ciri-ciri seperti bentuk Deva Siva sehingga diidentik dengan sivaisme yang tinggal di daerah Tambil Nadu. Bangsa arya dengan Waisnawa karena sifat kepahlawanannya. Agama Siva berasal dari kaki gunung Himalaya dan pengikutnya sangat panatik. Sebelum bangsa Arya ada perkembangan agama Siva sudah pesat terbukti dari arca dan penemuan berbentuk Siva, dan bentuk dewa lainnya dan juga pengikutnya. Sebuah lingam, Yoni konsep penciptaan. Sehingga konsep itu diadopsi oleh bangsa arya kedalam Veda, Upanisad, Purana dan bentuk kepercayaan Siva Agama Tambil baik arsitektur dan sebagainya.
Di Indonesia Mazab Siva Siddhanta datang pada abad ke 4 M di Kutai dibawa oleh Rsi Agastya dari Benares India. Di lihat dari peninggalan-peninggalan sejarah kebudayaan agama Hindu yang diketemukan di berbagai tempat di daerah nusantara ini, baik berdasarkan penemuan-penemuan arkeologi maupun penemuan kitab-kitab berupa rontal-rontal, menunjukkan bahwa peninggalan-peninggalan itu pada umumnya memperlihatkan ciri-ciri Siwa yang amat dominan. Hal ini membuktikan bahwa ajaran yang menyebar ke nusantara adalah Siwa Siddhanta. Penyebaran Siwa Siddhanta ini disebarkan oleh para Brahmana/Rsi atau sarjana-sarjana Agama Hindu. Terkenal nama Rsi Agastya dari Kasi, Benares India, penganut Siwa yang taat. Peninggalan yang lain berupa terdapatnya 7 Yupa dengan huruf Sansekerta. Jawa Barat tahun 400-500 M terdapat kerajaan Tarumanegara rajanya Purnawarman, terdapat 7 prasasti disebut Kebon Kopi. Jawa tengah terdapat kerajaan Kalingga tahun 618-906 M rajanya Ratu Sima terdapat prasasti bahasa Sansekerta bergambar Tri Sula. Kerajaan Sriwijaya pada abad 7 mulai adanya perkembangan Buddha Mahayana. Kerajaan Mataram rajanya Sanjaya tahun 654 mendirikan Lingga disebut pada prasasti Canggal. Setelah itu banyak bermunculan candi Buddha seperti candi Kalasan, Borobudur. Kerajaan Kanjuruhan rajanya Dewa Sima tahun 760 mendirikan tempat pemujaan Siwa Mahaguru. Kerajaan Medang rajanya Sendok tahun 929-947 yang memuliakan dewa Siwa dan memuja Tri Murti. Kerajaan Majapahit 1293-1528 rajanya Kertarajasa Jayawardhana terskhir rajanya Wikramawardhana masa jayanya Siwa Siddhanta.
Selanjutnya proses perkembangan Siwa Siddhanta sampai di Bali yang merupakan kelanjutan dari Jawa Timur. Pada saat kerajaan Majapahit mengalami kehancuran, banyak masyarakatnya berdatangan ke Bali guna menyelamatkan diri dari Kerajaan-kerajaan Islam. Penyebaran Siwa Siddhanta ini sampai ke Bali tentunya berkat jasa para orang suci dari Jawa Timur, karena awalnya di Bali pada jaman prasejarah hanya memiliki kepercayaan kepada roh yang berstana di gunung terutama kepercayaan kepada roh nenek moyang, juga ada kepoercayaan terhadap alam nyata dan tidak nyata. Penyebaran Siwa Siddhanta ini di Bali untuk pertama kalinya dilakukan oleh Rsi Markandeya sebagai orang suci dan yogi dari India yang memiliki pasraman di lereng gunung Raung Jawa Timur. Bertempat di kaki gunung Agung ( di Besakih ) Rsi Markandeya menanam Panca Datu berupa perak, tembaga, emas, besi, dan campuran keempat logam. Menurut ND Pandit bahwa Rsi Markandeya adalah orang yang pertama- tama mengajarkan agama Siwa di Bali dan mendirikan Pura Wasuki di lereng Gunung Agung. Perkiraan masuknya Siwa Siddhanta dikuatkan dengan adanta temuan berupa pecahan fragmen prasasti di Pejeng yang berbahasa Sansekerta yang memuat mantra Buddha (Yete Mantra) yang diperkirakan dari tahun 778 M, awal prasasti ada berbunyi “Siwas ddh” dan menurut R. Goris bahwa itu berbunyi “Siwa Siddhanta”. Pada abad ke 11 datanglah ke Bali seorang Brahmana Buddha dari Majapahit yaitu Mpu Kuturan, dimana pada awal kedatangannya di Bali sudah melihat banyak kenyataan bahwa banyak sekte-sekte telah berkembang. Beliau sangat berperan dalam proses menyatukan berbagai macam aliran atau sekte yang berkembang di Bali. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Tri Murti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat. Paham tri Murti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widi dalam posisi horizontal (pangider-ider).

2.    Sekte-sekte yang ada dalam Siwa Siddhanta adalah ada 9 sekte . Sembilan sekte tersebut adalah Siwa Siddhanta, Pasupata, Waisnawa, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora, Ganapatya dan Bhairawa. Demikian juga dalam lontar Sad Agama disebutkan agama Siwa terdiri dari enam sekte yaitu : Sambu, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu, dan Kala. Dari sembilan sekte tersebut luluh menjadi Siwa Siddhanta yang paling banyak pengikutnya.
1)    Sekte Siwa Siddhanta paling besar pengikutnya. Kata Siddhanta berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa Siddahnta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Siddhanta ini mengutamakan pemujaan ke hadapan Tri Purusha, yaiut Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai dengan fungsinya yang berbeda-beda.
2)    Sekte Pasupata, yang merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan sekte Siwa Siddhanta tampak jelas dalam cara pemujaannnya. Cara pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga.
3)    Sekte Waisnawa, yang merupakan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani Bali, Dewi Sri dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup utama. Bukti berkembangnya sekte Waisnawa di Bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga.
4)    Sekte Bodha dan Soghata di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar.
5)    Sekte Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Siddhanta. Di India Sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan produk dari sekte Brahmana.
6)    Mengenai Sekte Rsi di Bali, Goris memberikan uraian sumir dengan menunjuk kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan bersal dari Wangsa (golongan) Brahmana. Istilah Dewarsi atau Rajarsi pada orang Hindu merupakan orang suci diantara raja-raja dari Wangsa Ksatria.
7)    Pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan Sekte Sora, merupakan satu bukti sekte Sora itu ada. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi cirir penganut sekte Sora. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yadnya.
8)    Sekte Ganapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa. Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna yaiut penghalang gangguan. Oleh karena itu pada dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai dan sebagainya.
9)    Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tipa desa pakraman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang merndambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi.

3.    Bentuk kristalisasi Siwa Siddhanta di Bali, yaitu
Sebelum pemerintahan suami istri Dharma Udayana/Gunapriya Dharmapatni (sejak awal abad ke 10), di Bali telah berkembang berbagai sekte. Pada mulanya sekte-sekte itu hidup berdampingan secara damai. Lama kelamaan justru sering terjadi persaingan. Bahkan tak jarang terjadi bentrok secara fisik. Hal ini dengan sendirinya sangat mengganggu ketentraman Pulau Bali. Sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu. Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakuakn di Bataanyar (Samuan Tiga). Dalam rapat majelis Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yang terdiri dari berbagai aliran. Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa. Konsensus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha. Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) unutk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama :
a.    Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan).
b.    Pura Puseh untuk memuja kemuliaan Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa.
c.    Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu saktinya Bhatara Siwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widi Wasa.
Ketiga pura tersebut disebut Pura Kahyangan Tiga yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Dalam Samuan Tiga juga dilahirkan suatu Organisasi “Desa Pakraman” yang lebih dikenal dengan Desa Adat.
Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Tri Murti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga. Dang Hyang Dwijendra yang datang ke Bali pada abad ke 14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Atas wahyu Hyang Widhi di Purancak, Jembrana, beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tri Purusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebagai Siwa, Sadha Siwa dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana. Jika konsep Tri Murti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal maka konsep Tri Purusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal. Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat di tata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat Pakraman dibuat, organisasi subak ditumbuhkembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain itu belaiau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin.
Orang-orang suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali. Dibidang tattwa misalnya, ciri khas yang paling meninjol adalah penyembahan Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Tri Murti dan Tripurusa dalam bentuk palinggih Kemulan Rong Tiga dan Padmasana yang dikembangkan masing-masing oleh Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha. Di bidang ritual ciri khas Hindu Blai yang terpenting adalah adanya bebali atau banten yang dikembangkan oleh Danghyang Markandeya dan Mpu Sangkulputih.
4.    Pada umumnya kita beragama karena mengikuti lingkungan, khususnya lingkungan terdekat yaitu orang tua kita. Sejak kecil kita diajak oleh orang tua kita mengikuti cara-cara agama. Kita diajak sembahyang bersama pada hari raya. Pada usia tertentu kita dibuatkan upacara-upacara agama.  Saya memang beragama Hindu, karena orang tua saya beragama Hindu dan demikian pula leluhur-leluhur saya. Saya juga beragama Hindu karena saya meyakini agama ini dan merupakan pilihan saya, karena menurut saya agama Hindu adalah agama yang saya yakini. Memang tidak cukup dengan hanya Trisandya 3 kali dalam sehari saja sudah bisa dikatakan beragama Hindu. Akan tetapi kita semua masih dalam tahap belajar untuk memperdalam ajaran agama Hindu ini.
Seperti yang dikatakan Sri Swami Sivananda, bahwa "keramah-tamahan yang tulus dari agama Hindu sangat terkenal. Agama Hindu memberi perhatian terhadap semua agama. Agama Hindu tidak pernah mencela atau mencaci maki agama lain. Agama Hindu menghormati kebenaran dari manapun datangnya”. Inilah salah satu alasan mengapa kita memeluk agama Hindu
5.    Cara saya menyikapi dengan adanya Sampradaya Krisna dan Sai Baba dalam Konsep Siwa Siddhanta adalah tetap berpikir positif, memang dengan adanya aliran-aliran kepercayaan tersebut sering sekali menimbulkan adanya konflik-konflik baru tetapi bukankah lebih baik apabila kita sebaiknya di dalam mengikuti ataupun menilai sebuah ajaran harus disiapkan pemahaman yang mendalam, sehingga pengetahuan sebagai pemahaman tersebut menjadi sebuah dasar pedoman yang utuh, yang mampu menjamah inti dari tujuan sebuah ajaran yang dihadapi, sehingga selisih faham, dan komplik-komplik integral kemasyarakatan dapat diminimalisasi bahkan dihapuskan, serta tujuan peningkatan kerohanian dapat tercapai. Kalau memang banyak umat kita yang mengikuti aliran semacam itu, biarkan saja karena kemungkinan itu baik dan diyakini menurutnya asalkan seseorang itu tetap mampu mengayomi keluarganya. Banyak sekali fakta-fakta yang bisa saya dapatkan dalam lingkungan saya bahwa orang-orang yang mengikuti aliran-aliran seperti itu dalam tanda kutip masih awam pemahamannya sampai meninggalkan keluarganya karena lebih fokus terhadap aktivitas-aktivitas dalam alirannya. Memang semua tujuannya baik tapi apabila demikian halnya, bukankah sangat diperlukan pemikiran yang sangat matang. Sampradaya ini sudah berkembang pada jaman dahulu, karena banyak terdapatnya konflik di antara aliran-aliran itu maka Mpu Kuturan menyatukan semua itu sebagai bentuk Kristalisasi dari Siwa Siddhanta. Apa tugas kita sebagai umat yang sudah gampang menikmati hasil dari jerih payah para orang-orang suci tersebut adalah menjaga apa yang telah diwariskan. Jadi kita boleh saja mengikuti aliran seperti itu dengan maksud untuk memperdalam pemahaman kita akan tetapi jangan saja disalahartikan dan tetap menjaga semua warisan-warisan dari para orang suci tersebut.




SIVA VISESADVAITA DARI SRIPATI ( VIRASAIVA )

SAIVA SIDDHANTA 1
SIVA VISESADVAITA DARI SRIPATI
( VIRASAIVA )


1.    Pendahuluan
Seperti diketahui bahwa ajaran Vira Saiva merupakan sistem yang memandang tentang identitas roh ( jiva ) dan Siva berjenjang sesuai dengan tingkat kemajuan spiritual penganutnya. Pada tahap awal, dimana seseorang masih dalam tahapan bhakta ( penyembah ), ia merasakan adanya perbedaan ( bheda ) antara si penyembah ( bhakta ) dengan yang disembah ( siva ) dan dengan semakin majunya tingkat perkembangan spiritual seseorang, maka akan tercapailah abheda ( tiada perbedaan ) antara si penyembah ( roh ) dengan yang disembah ( siva ).
Kata “ Vira Saiva” tampaknya memiliki makna historis yang menunjukkan sikap kepahlawanan dari para pengikut Saivaisme dalam mempertahankan keyakinannya ( vira= kegigihan, keperwiraan ). Dalam Siddhanta Sikhamani, terdapat suatu percakapan antara Renuka atau Revana dengan Agastya tentang arti kata “Vira” tersebut, yaitu :
1). “Vi” artinya pengetahuan ( vidya ) yang menyatakan bahwa subyek pribadi ( Jiva ) identik dengan Siva dan para pengikut Saivaisme yang menemukan kepuasan dalam pengetahuan semacam itu adalah “Vira Saiva”.
2). Pengetahuan yang diperoleh seseorang dari belajar Vedanta, yang ditunjukkan oleh kata “Vi” dan “Vira” adalah yang menemukan kedamaian pikiran di dalamnya. Kriyasara memberikan arti tambahan terhadap kata “Vira” tersebut, yaitu sebagai berikut :
3). “Vi” artinya “keragu-raguan” (vikalpa); “Ra” artinya “tanpa” Jadi, Vira Saiva artinya “keyakinan dan filsafat Saiva yang bebas dari keragu-raguan”.
Jadi Vira Saiva disini merupakan suatu ajaran yang mampu menghentikan hasutan mental ( pikiran ), sehingga memungkinkan untuk dapat mencapai unutk dapat mencapai mukti ( pembebasan ). Maswinara ( 2006 : 280 ).  Vira Saiva juga disebut Lingayata atau Lingavanta, karena salah satu sraddha-nya adalah kepercayaan akan Linga, yang tiada lain adalah Siva dan mereka yang sudah di inisiasi oleh guru spiritual menjadi sadar bahwa pada dirinya bersemayam Linga atau Siva.
Ia juga disebut sebagai Dvaitadvaita, karena ia berpendapat bahwa ketulusan ( bhakti ) merupakan cara yang utama untuk penyatuan ( sayujya ) dengan realitas terakhir, yaitu Siva. Ketaatan mengandaikan realitas dan mahluk, keduanya terpisah, yaitu subyek dan obyek, si penyembah dan obyek yang disembah, si pemuja dengan obyek yang dipuja, si perenung dengan yang direnungkannya ; tetapi akhir dari semuanya ini, yang diwujudkan melalui hal-hal diatas, tidak menjadi satu, dimana subyek dan obyek memiliki keberadaan yang terpisah.
Ia juga disebut “sesvaradvaita”, karena katagori pertama menurut sistem ini adalah “pati” atau Tuhan dan konsepsi tentang katagori terakhir bukanlah yang merupakan tanpa isis atau keberadaan kosong, tetapi yang berkuasa sepenuhnya; dan segenap kejamakan dari alam semesta, baik yang subyektif maupun yang obyektif, memiliki keberadaan di dalam daya-Nya, persis seperti kejamakan yang menyusun sebatang pohon, yang ada di  dalam sebutir biji ( benih ), dari mana ia bertunas dan tumbuh berkembang dan Ia adalah Tuhan atau Pati, karena Ia memiliki daya, walaupun ia tak berbeda dengan-Nya, seperti sifat kehangatan dalam api.
Ia disebut visesadvaita atau savisesadvaita, karena ia bertentangan dengan nirvisesadvaita dari Sankara, yaitu Saguna-Brahmavada dan bertentangan dengan Nirguna-Brahmavada; juga berlawanan dengan teori bahwa dunia empiris hanyalah khayalan; juga terhadap perbedaan antara realitas praktis ( vyavaharika satya ) dan realitas nyata ( paramarthasatya ) dan terhadap pandangan bahwa pembebasan merupakan penolakan terhadap sifatnya.
Ia disebut Sivadvaita, karena berpendapat bahwa realitas terakhir adalah Siva, keberadaan universal yang meresapi segalanya, dalam nama segenap kejamakan dari dunia obyektif memiliki keberadaan secara potensial dan berkembang dariNya sebagai akibat dari kehendakNya, dan karena kejamakan yang terpendam di dalamnya walaupun kejamakan itu menjadi berwujud halus atau pun kasar, namun tidak berada di luar diriNya.
Ia juga disebut Sarvasrutisaramata, karena ia menyatakan bahwa dasar pandangannya berasal dari semua naskah suci dan mempertahankan secara konsisten dan selaras, penafsiran dari semua pernyataan yang tampaknya bertentangan, yang diketemukan dalam Sruti.
Ia disebut Dualis Monistik, karena ia berpendapat bahwa Dvaita dan Advaita, atau Dualis dan Monistik, walaupun bertentangan satu sama lainnya, apabila dinyatakan pada tingkatan yang sama dan dari titk pandang yang sama; namun keduanya akan dapat didamaikan apabila keduanya dilihat dari sudut pandang yang berlainan. Ia menyatakan bahwa pribadi berbeda dengan Siva pada tingkatan empiris, tetapi menjadi satu denganNya apabila ia bergabung kedalamNya pada saat pembebasan, persis seperti perbedaan antara sungai-sungai dan lautan pada bidang yang berlaina, tetap akan menjadi sama atau menajdi satu apabila aliran sungai itu sudah bergabung dengan lautan. Monisme menunjukkan tentang keadaan penyebab, sedangkan Dualisme menyatakan tentang keadaan akibat.
Ia disebut Sakti Visistadvaita, karena Vira Saiva menolak untuk menerima pernyataan bahwa dalam kesadaran diri, perbedaan material dan bentuk dihapuskan, karena dalam kesadaran diri pun ia membedakan sisi material dan sisi bentuk, momen potensial dan momen aktual. Momen potensial dan material dari Yang Mutlak di istilahkan sebagai Siva dan momen aktual dan momen formal dari Yang Mutlak di istilahkan dengan Sakti. Ia membayangkan persekutuan antara Siva dan Sakti secara integral.
Kriya Sara oleh Nilakantha mengemukakan Sakti visistadvaita yang diterima oleh para pengikut Vira Saiva dan menafsirkan sloka-sloka Brahma Sutra dari Badarayana dalam pandangan Visistadvaita.
Vira Saiva mencela pandangan Sankara mengenai Vedanta tentang teori pelapisan ( adhyasa ), kenyataan praktis ( vyavaharikasatya ), sifat khayal dari alam semesta dan teori tentang refleksi atau pantulan. Menurut Vira Saiva, sesuai dengan pandangan dari Sripati Panditaradhya, teori pelapisan yang dinyatakan oleh Sankara bertentangan dengan pernyataan naskah suci, yang membicarakan tentang penyebab hubungan antara Brahman dan alam semesta, Sehubungan dengan masalah kenyataan praktis, Sripati mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1). Apakah itu berarti bahwa sesuatu yang hanya kenyataan praktis semacam itu tidak berlanjut melalui hal-hal yang akan terjadi ( kalantaranavasthaytiva ), atau
2). Bahwa demikian itu berbeda dengan “keberadaan” dan “bukan keberadaan”, atau
3). Bahwa yang semacam itu tak dapat dikatakan sebagai “keberadaan” atau sebagai “bukan keberadaan”.
Menurut Sripati, pandangan yang demikian itu tak dapat dipertahankan, karena perbedaan dapat ditarik hanya tentang Brahman dan Prakrti dan argumentasi tentang hal ini sangatlah halus, sulit dan sangat dalam artinya, sehingga memerlukan ruang pembahasan yang lebih luas.
Sripati membicarakan tentang Sankara sebagai seorang Bauddha dalam pakaina seorang Vedantin ( pracchana bauddha ). Ia menyebut Sankara Vednta “nirvisesadvaitamata”, karena ia berpendapat bahwa Tuhan, alam semesta dan subyek pribadi, sebagai khayalan. Ia berpendapat bahwa sistemnya Sankara disalahkan oleh Badarayana dalam “abhavadhikarana”nya Vedanta Sutra. Ia bertanya : “Apakah penolakan ( abhava ) tentang Tuhan, alam semesta dan subyek pribadi berarti bahwa mereka tidak memiliki keberadaan apapun, seperti tanduk dari seekor kelinci ( truwelu ) atau anak dari seorang wanita mandul; atau merupakan khayalan seperti kejamakan yang dialami dalam mimpi? Ia menunjukkan bahwa penolakan jenis pertama itu bertentangan dengan kenyataan pengalaman, karena kita secara aktual menerima kejamakan obyektif pada tingkat empiris, tetapi tanduk dari seekor kelinci tak dapat diamati dan tidak tepat. Subyek pribadi juga secara jelas dialami pada saat munculnya fenomena pengetahuan yang berbeda dengan obyek dan caranya. Oleh karena itu, hanya memandang pengetahuan ( jnana ) saja yang ada, tanpa perbedaan subyek-obyek dan caranya, membuat diri seseorang menjadi suatu obyek cemohan. Dan Tuhan juga merupakan obyek pengalaman keagamaan atau mistik. Oleh karena itu, penolakan tentang dunia obyektif dan Tuhan, tak dapat diamati.
Atau, dapatkah dunia obyektif dinyatakan khayalan ( mithya ) seperti sebuah mimpi, karena dunia obyektif pada keadaan jaga sangat berbeda dengan yang kita lihat dalam mimpi. Mimpi dipertentangkan dengan pengalaman jaga, karena kita tidak menemukan apa yang kita alami dalam mimpi, ketika kita terbangun. Tetapi obyek yang kita alami dalam keadaan terjaga, akan kita ketemukan, walaupun setelah bermimpi. Selanjutnya perbuatan bajuk dan dosa yang dilakukan dalam mimpi, tak menghasilkan pahala atau ganjaran terhadap hal yang sama dalam mimpi; tetapi perbuatan-perbuatan yang sama, yang dilakukan dalam keadaan terjaga, akan menghasilkan pahala dan ganjaran.
Karenanya penolakan terhadap realitas dunia empiris, pada dasar perkiraan yang sama dengan dunia mimpi, adalah tidak logis; sehingga salah untuk menyatakan bahwa pengalaman keadaan terjaga tanpa menunjuk kepada kenyataan obyektif, sebagai di dalam mimpi. Selanjutnya, apabila semua pengetahuan diskui tanpa adanya penunjukkan obyektif ( jnananam arthasunyatva ), masalah yang hendak dibuktikan oleh para Vedantin tak dapat dibuktikan; karena Advaita Vedantin berusaha untuk membuktikan keberadaan Brahman dengan penyimpulan. Tetapi penyimpulan itu sendiri juga merupakan sejenis pengetahuan. Sehingga tak dapat menunjukkan terhadap apa sebenarnya keberadaan itu.
Tetapi Advaita Vedantin dapat mengatakan bahwa keberadaan dunia obyektif yang sesungguhnya ditolak hanya karena ia dipertentangkan oleh pengalaman mistik ( brahmajnana baddhyatvam ). Terhadap hal ini, Sripati menjawab bahwa pengalaman dari dunia obyektif bukan berarti penolakan atau pertentangan dari keberadaannya; karena hal itu disebabkan oleh munculnya subyek yang mengatasi tingkatan kelekatan obyektif. Ketiadaan pengalaman objektifitas pada tingkatan mistik sama dengan ketiadaan pengalaman pada tingkatan tidur lelap tanpa mimpi. Maswinara ( 2006 : 284 ).
Atau, dapatkah Nirvisesa Vedantin membuktikan keberadaan dari Nirvisesa Brahman berdasarkan naskah-naskah suci; karena mereka juga merupakan cara pengetahuan ( sabda pramana ). Dan Advaintin mengakui bahwa cara pengetahuan tidak memiliki referensi terhadap obyek yang sebenarnya. Oleh karena itu, Brahman yang di buktikan dengan bantuan Sruti juga tiada lain merupakan khayalan; dan segala sesuatunya kecuali Brahman menjadi khayalan, demikian pula kitab suci harus diakui sebagai demikian itu, sehingga tak dapat membuktikan Brahman menjadi bukan khayalan atau nyata.
Ada perbedaan pendapat diantara para pengikut Vedanta mengenai konsepsi tentang Tuhan dan tentang subyek pribadi. Menurut sebagian kelompok, baik Tuhan maupun roh pribadi, hantyalah pantulan dari keberadaan universal tunggal, yang merupakan pantulan ( caitanyamatram bimbam ); yang dipantulkan dalam Maya, sebagai kebodohan universal, adalah Tuhan; tetapi yang dipantulkan dalam indra dalam ( antahkarana ) adalah roh pribadi. Perbedaan antara Tuhan dan roh pribadi adalah bersifat kwantitatif, seperti perbedaaan bayangan matahari pada sebuah kolam dan pada sebuah cangkir; dimana yang pertama meresapi segalanya, tetapi roh pribadi sifatnya terbatas.
Berikut ini adalah kritik dari Sripati terhadap pandangan tentang teori pantulan dari Sankara. Suatu Pandangan yang dikemukakan harus selaras dengan kenyataan pengalaman, apabila hal itu untuk menguasai penerimaan secara umum. Bagaimana pun juga, pandangan bahwa Tuhan dan roh hanyalah pantulan dari keberadaan tunggal yang universal, bertentangan dengan kenyataan, sehingga tak dapat diterima, karena hanya yang memberikan pantulan dan yang menerima pantulan sajalah yang keberadaannya jelas. Pembicaraan tentang pantulan ether ( akasa ) dalam kolam, tidak memiliki dasar selain khayalan. Selanjutnya, pantulan diperlukan pada suatu ruang, dimana tak ada pantulan. Tetapi Brahman adalah meresapi segalanya, sehingga tak mungkin ada pantulannya. Dalam “guhah pravistavatmanau hi tad darsanat”, Jiva dan Brahman dikatakan menempati ruang yang sama. Bukankah hal ini bertentangan dengan teori pantulan? Bagaimana pantulan dan yang dipantulkan ada pada tempat yang sama? Karena itu tak akan terjadi penghancuran Maya pada saat pembebasan, yang berarti penghancuran dari Jiva, sehingga teori bahwa Jiva hanya merupakan pantulan dari Brahma tak dapat dipertahankan.
Sripati Panditataradhya juga mencela Visistadvaita, dalam penggunaan istilah “Visistadvaita” mengenai atribut dan bahan yang dikaitkan dengan sang diri tertinggi dan roh-roh pribadi. Hubungan antara diri tertinggi dan roh harus didefinisikan sebelum kita dapat membicarakannya sebagai bahan dan atribut. Hal itu tak dapat dikatakan ada bersamanya ( samavaya ), karena mereka ada dalam keadaan terisolasi satu sama lain dan juga tak dapat dikatakan hanya kontak ( samyoga ) saja, karena apabila dikatakan menjadi meresapi ( vyapyavrtti ), itu akan berarti pengakuan identitas dari keduanya, karena keduanya tanpa bagian-bagian. Mengenai “svarupasambandha”, hal itu tidak logis, sehingga umunya tidak diketahui dan apabila toh diakui menjadi suatu hubungan, sehingga bergantung pada keduanya, hal ini bertentangan dengan non dualis. Berdasarkan hal-hal ini, maka istilah “Visistadvaita” juga bertentangan.
Sripati secara tegas menyalahkan konsepsi tentang pembebasan ( moksa ) sebagai pencapaian penyamaan dengan Siva dan menyatakan bahwa pembebasan adalah penyatuan dengan Siva ( sayujya ).
2.    Kepustakaan, Penulis dan Orang-orang Suci
2.1.    Kepustakaan
Otoritas ajaran Vira Saiva didasarkan pada 28 Saivagama seperti dinyatakan pada filsafat Saiva secara umum, dimana 10 buah berasal dari Siva Dualis, sedangkan 18 buah berasal dari Dualis-cum Monistik dan ke 28 Saivagama tersebut juga merupakan otoritas ajaran Saiva Siddhanta.
Berdasarkan otoritas 28 Saivagama, para bijak Vira Saiva menuangkan pokok-pokok ajaran Saiva ke dalam Vacana Sastra, yang hidup kembali dalam abad ke 11 dan berkembang sampai abad ke 18 dan diketahui ada 213 penulis Vacana Sastra. Vacana Sastra ini pada waktu sekarang sangat populer dan mendapat tempat yang terhormat di hati para pengamat Vira Saiva. Vacana-vacana ini dilagukan karena ia memiliki keindahan khusus, yang disusun dalam bahasa sederhana dan mudah dimengerti sekalipun bagi mereka yang kurang terpelajar.
Tujuan utama penulisan vacana sastra tersebut bukan menjelaskan secara mendalam prinsip-prinsip agama dan filsafat melainkan ditekankan pada pengungkapan kondisi sosial dan praktek agama yang banyak menyimpang pada waktu itu.
2.2.    Penulis Wacana Sastra dan Orang-Orang Suci ( Acarya )
Para penulis Vacana Sastra berasal dari berbagai lapisan sosial masyarakat, para brahmana, chandala, wanita dari semua golongan, pedagang, pengrajin, dll. Nama-nama yang patut disebut sebagai penulis Vacana Sastra adalah sebagai berikut :
1.    Jedara Dasimayya ( 1040 Masehi )
2.    Ekadanta Ramayya
3.    Siva lenka Mancanna ( 1160 Masehi )
4.    Sripati Panditaradhya ( 1160 Masehi )
5.    Mallikarjuna Panditaradhya ( 1160 Masehi )
6.    Sakalesa Madarasa ( 1150 Masehi )
7.    Prabhudeva ( 1160 Masehi )
8.    Basava ( 1160 Masehi )
9.    Cenna Basava ( 1160 Masehi )
Tradisi keagamaan yang berlaku diantara kehidupan Vira Saiva, mengatakan bahwa Vira Saiva didirikan oleh 5 orang acarya, yaitu :
1.    Ranukaradhya atau Revanaradhya
2.    Darukaradhya atau Marularadhya
3.    Ekoramaradhya
4.    Panditaradhya
5.    Visvaradhya
Kelima acarya ini dipercaya muncul dari Linga, yang masing-masing berasal dari : 1. Siva-linga Somesvara di Kollipaki, 2. Dari Vata-vrksa Siddhesvara, 3. Dari Ramanatha di Draksarama Ksetra, 4. Dari Mallikarjuna di Srisaila dan 5. Dari Visvanatha di Kasi ( Benares ).
Ajaran unggulan dari sistem Vira Saiva adalah : 1). Astavarana, yaitu 8 sraddha yang mencirikan penganut Vira Saiva, yang berbeda dengan penganut lainnya; dan 2). Satsthala, yaitu 6 cara ( jenjang ) pengembangan spiritual. Maswinara ( 2006 : 287 ). Asvarana, atau 8 sraddha yang mencirikan penganut Vira Saiva tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Guru
Pembimbing spiritual yang akan melakukan diksa kepada para pemula dan penghormatan kepadanya adalah tanpa batas. Seorang guru kedudukannya lebih tinggi dibandingkan dengan orang tuanya sendiri, karena seorang guru mampu mengantarkannya menuju pembebasan, sedangkan orang tuanya sendiri hanya mampu memberinya badan kasar.
2.    Linga
Linga merupakan Para Siva sendiri dan bukan seperti yang dipikirkan oleh para orientalis yang menyatakan bahwa linga dianggap sebagai organ generatif dari laki-laki. Linga berasal dari akar kata “li” dan “gam”. “Li” artinya mengembalikan, dan “gam” artinya pergi atau keluar atau memproyeksikan. Jadi Linga, adalah Ia yang memproyeksikan alam semesta dan mempralaya ( mengembalikan ) alam semesta tersebut ke dalam diri-Nya. Bagi penganut Vira Saiva, linga adalah Siva itu sendiri dan bukan hanya sekedar simbul belaka. Linga pada para sadhaka berbentuk Caitanya, yang diberikan oleh seorang guru, melalui kekuatan spiritual untuk di puja. Linga berwujud sinar cemerlang yang ditampakkan di depan mata seorang pemula dan Linga dipercaya sama dengan seorang guru, meskipun ia disampaikan oleh guru. Ia dianggap sama dengan Siva itu sendiri dan tidak boleh dipisahkan dengan badan, sebab sama artinya dengan kematian spiritual. Siva tidak sembah dalam bentuk patung, melainkan dalam bentuk pertama ketika diinisiasikan. Menyembah Siva dalam bentuk lain dipantangkan.
3.    Jangama
Istilah ini hanya dikenal dalam Vira Saiva, yang menyatakan seseorang yang bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya dengan membawakan dharma vacana. Untuk menjadi seorang Jangam harus memiliki kemampuan sebagai berikut yaitu sudah tidak terikat dengan wanita, harta benda, hawa nafsu dan mereka dihormati seperti guru, sebagai Linga. Di dalam ajaran Buddha kita mengenal Tri Ratna, dan dalam ajaran Vira Saiva, mereka itu adalah Guru, Linga dan Jangam.


4.    Padodaka
Secara tersurat artinya “air dari kaki sang guru” atau “air suci”. Penganut Vira Saiva memiliki keyakinan penuh terhadap kesucian seorang Guru, Linga dan juga Padodaka sehingga semua obyek yang terkena sentuhan ketiga hal tersebut, akan menjadi suci.
5.    Prasada
Berupa makanan yang diserahkan kepada seorang guru, kemudian oleh guru, makanan tersebut dikembalikan kepada para bhakta sebagai prasada, yang merupakan makanan yang telah mendapatkan berkah kesucian.
6.    Vibhuti
Yang merupakan “abu suci” yang dipersiapkan dengan konsentrasi tinggi oleh seorang acarya dengan mengucapkan mantra-mantra tertentu.
7.    Rudraksa
Yang merupakan sejenis biji buah yang dipercaya berasal dari mata Siva dan untaian Rudraksa ( rudraksa mala ) dikalungkan di leher, kepala, telinga dan dipakai selama melakukan japa.
8.    Mantra
Yaitu rumusan suci ( sakral ) yang terdiri atas 5 suku kata, yaitu : “Na-ma-si-va-ya”, yang disebut “Pancaksara-mahamantra”, dan jika ditambah suku kata “Om” menjadi “Om namasivaya” dan disebut sadaksara. Bagi penganut Siva, mantra, ‘om namasivaya’ merupakan maha-mantra, seperti halnya Gayatri-mantra di dalam Veda.

3.    Konsepsi Tentang Tuhan
Konsepsi tentang Tuhan dalam sistem Vira Saiva, adalah berjenjang ( sthala ), sesuai dengan pengembangan spiritual dari Jiva dan dalam sistem Vira Saiva terdapat 6 jenjang ( satsthala ), yaitu : 1). Bhaktasthala, 2). Mahesvarasthala, 3). Prasadisthala, 4). Pranalingisthala, 5). Saranasthala, dan 6). Aikyasthala. Setiap bagian memiliki sejumlah sub bagian lagi, yang disebut dengan nama yang berbeda, yang jumlahnya 44 buah dan dikaitkan dengan Siddhanta Sikhamapi, yaitu suatu ku mpulan percakapan antara Renuka dan Agastya. Dengan naskah yang sama, berbagai jenis Linga, cara pemujaan dan perenungan juga diberikan secara rinci, dan Sripati, dalam Srikara Bhasya, jilid II, 95, 96, 105, 106 dsb, juga menunjukkan Linga semacam itu.
Pada tahapan awal sebagai seorang bhakta ( bhaktasthala ) terdapat perbedaan yang jelas antara Jiva dengan Tuhan, dan pada tahapan akhir atau Aikkyasthala, tercapai kesatuan diantara keduanya pada tingkatan bhaktisthala, sang Jiva merupakan seorang bhakta yang melayani Guru, Linga dan Jangama sehingga konsepsi tentang Tuhan sama seperti pada sistem Saiva Siddhanta, dimana selamanya bertindak selaku pelayan jiwa, walaupun sudah mencapai Mukti. Bagaimana penghayatan dualis berkembang menjadi non dualis, akan diuraikan secara ringkas berikut ini.
Pada tahap awal kepercayaan terhadap Tuhan adalah Satu riada duanya. Penganut Vira Saiva sangat teguh keyakinannya terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa, yang mengatasi semuanya dan yang diidentifikasikan sebagai Siva. Akka Mahadevi, seorang rsi wanita yang sangat dihormati, yang hidup pada abad ke 12 Masehi mengatakan sebagai berikut; “Siapakah yang memberi rasa asam pada jeruk mangga dan buah asam? Siapakah yang memberi rasa manis pada batang tebu, tanam-tanaman, kelapa dsb? Siapakah yang memberi zat-zat penghidup pada padi=-padian, gandum, jagung, dsb? Siapakah yang memberikan keharuman pada bunga-bunga sedap malam, mawar, melati dsb. Itu? Air adalah satu, tanah juga satu, langitpun satu adanya. Air yang satu dalam persatuannya dengan obyek lain menghasilkan sifat-sifat yang berbeda, demikian pula halnya dengan Tuhanku ‘cennamallikarjunayya’, meskipun bersatu dengan dunia yang tak terbatas ini, memiliki hakekatnya sendiri”.
Vira Saiva tidak sependapat dengan ajaran polytheisme, dan menolak keTuhanan Brahma, Visnu dan Rudra ( trimurti ), seperti halnya Siva Siddhanta yang menggolong-golongkan Jiva. Vira Saiva menyatakan bahwa hanya ada satu Tuhan, keberadaan yang paling berkuasa, yaitu Siva yang pemurah. Maswinara ( 2006 : 290 ).
Seperti telah dikatakan di depan, apabila jiwa seseorang mencapai bhaktasthala, sebagai jenjang yang pertama, yang merupakan titik awal dari filsafat Vira Saiva, keyakinan terhadap Tuhan sebagai pribadi secara perlahan-lahan menjadi subyek pengkajian hakekat sebenarnya dari Kasunyataan, yang berlanjut sampai jiwa mencapai tahap kemajuan hingga jenjang ke 5 ( saranasthala ), dimana pada periode ini sang jiwa mencapai kesimpulan yang mirip sama dengan ajaran Siva Siddhanta, mengenai penafsiran filosofis terhadap jiwa. Kekhususan ajaran Vira Saiva yang lain, bukan saja pada pencapaian kesimpulan itu saja, tetapi dalam pencapaian apa yang dijelaskan didalam pengkajian selanjutnya.
Dari jenjang pertama smapai jenjang terakhir, wahyu tentang kebenaran dan pencapaiannya bergerak dari pengkajian jenjang awal kejenjang berikutnya. Dengan kata lain, Vira Saiva dengan jelas membedakan pengertian pencapaian dengan berjenjang, sementara Siva Siddhanta dan aliran lainnya menyatukannya.
Dalam jenjang-jenjang spiritual sampai pada jenjang terakhir tampak bahwa uraian tentang Tuhan di dalam mytologi kurang tepat seperti yang dinyatakan oleh Caudayya sebagai berikut:
“Tak ada untaian tengkorak kepala manusia yang dipakai oleh Tuhan, juga tidak memiliki trisula dan gendang tangan ( dhamaru ), juga juga tidak melumuri badannya dengan abu suci dan dalam kenyataannya corak samsara yang paling kecilpuntak dapat ditelusuri padanya. Ia, yang satu-satunya, dengan nama apa dapat disebut ? Ia tidak memiliki nama sama sekali”.
Tuhan tidak memiliki wujud atau pun berwujud dan dalam kenyataannya, Ia tanpa wujud yang tak dipahami, tak dapat diamati, tak dapat dibayang-bayangkan dsb. Sehingga Ia dikatakan sebagai intisari kemuliaan dari kecemerlangan dalam semua kecemerlangan. Ia bukan dari dunia ini maupun dari dunia sana. Dalam pengkajiannya para rsi Vira Saiva secara perlahan-lahan masuk ke dalam rahasia alam semesta. Ia mencirikan bahwa rahasia Tuhan Yang Maha Kuasa mencerminkan kepercayaan akan keberadaanNya, yang menempatkan bumi dilautan tanpa menjadikannya cair dan menempatkan langit tanpa penopang. Disini terdapat kesamaan pendapat dengan Saiva Siddhanta.
Siva meresapi segalanya dan mengatasi segalanya. Ia ada di alam semesta, meresapi alam semesta sepenuhnya tanpa meninggalkan suatu celah yang tak teresapi oleh-Nya, dalam wujud alam semesta itu sendiri dan mengatasinya. Meskipun Siva meresapi semua hal dan tampak pada semua benda, tetapi semua benda itu bukanlah Siva.
Seperti seorang petani yang menebarkan benih, dapatkah npanenan disebut sebagai seorang petani? Demikian pula pengrajin periuk, dimana periuk yang dihasilkannya tak dapat dikatakan menjadi si tukang pembuat periuk; dan keduanya merupakan kesatuan yang berbeda yang tak terpengaruh oleh akibat-akibat dalam alam semesta. Dalam hal ini Vira Saiva sependapat dengan Siva Siddhanta, namun bukan merupakan kebenaran akhir. Untuk mencapai kebenaran akhir, Jiva harus mencapai jenjang spiritual akhir, yang akan memberikan cahaya kebenaran yang paling cerah, dimana pada tahapan ini bukan saja tercapainya perwujudan bahwa dirinya adalah Siva, tetapi juga alam semesta ini adalah Siva.



4.    Sakti atau Maya
Menurut Saiva Siddhanta, sakti bukanlah Maya, tetapi faktor abadi yang penting, yang bekerja sama dengan Siva, dimana tanpa ada kerja sama dengannya, Siva tidak memiliki daya dan tak mampu menghasilkan keberadaan alam semesta yang tersembunyi dalam diri-Nya. Menurut Trika, sakti tidak berbeda dengan Siva, bersumber didalam diri Siva dan merupakan daya kekuatan dari Siva dan juga menjadi sumber Maya atau materi kosmos. Dalam Pancaratra, Sakti atau Laksmi, memunculkan Kriya Sakti dan Bhuti Sakti, yang sesungguhnya merupakan bagian kecil dari Kriya sakti dan merupakan sumber dari materi, sehingga materi bermula dari Laksmi atau sakti. Vira Saiva juga percaya akan perlunya Sakti guna mewujudkan alam semesta ini dan sependapat dengan Trika dan Pancaratra dalam menelusuri sumber materi tersebut dan sependapat pula mengenai asal sakti di dalam Siva; dimana Havinahala Kallayya secara jelas mengatakan bahwa sakti berasal dari dalam Siva, sebagai berikut :
“Bagaikan partikel air yang tak dapat diamati di langit dirubah menjadi butiran-butiran es, demikianlah pemikiran Siva yang mengenakan wujud Sakti dan merupakan langkah pertama dalam pemunculan alam semesta”.
Menurut Maggeya Mayideva, sakti tak terbandingkan dan dijelmakan dengan semua ciri-ciri ( dharma ) dari Siva, karena ia disatukan secara abadi dengan Siva. Ia penyaksi segala sesuatu ( sarvasaksini ) yang merupakan kebenaran sepenuhnya ( satya-sampurna ), yang terbebas dari perubahan ( nirvikalpa ) dan merupakan Isvari yang agung.
Melalui daya kekuatannya sendiri yang bebas, ia ( sakti ) menjadi dua dan dinamakan Kalasakti dan Bhaktisakti. Kalasakti yang terikayt dengan Linga ( para-brahman ), merupakan potensi ( kala ) dan membangun alam semesta. Dalam bentuk pemikiran atau buah pikiran ( vasana rupa ), ia merupakan cara dari aktivitas ( pravrtti ), sehingga dari sakti ini, prapanca atau alam semesta dengan segala permasalahannya ini terwujud. Bhaktisakti mengikatkan dirinya dengan Anga, yang tiada lain adalah roh ( jiva ) dan menghancurkan segala keberadaan ( bhava ), yaitu belenggu yang disebabkan oleh pepermasalahan alam semesta. Bagaikan sinar universal tersembunyi yang tampak dalam wujud sebuah lampu dan mengusir kegelapan di depan mata kita, demikian pula Mahesvari sakti, yang terbagi menjadi Bhaktisakti, yang merupakan wujud dari Saccidananda yang lebih besar, murni, sangat halus, menguntungkan dan tertinggi, serta pemberi karunia dari buah kenikmatan ( bhukti ) dan pembebasan ( mukti ).
Bhakti yang tanpa vasana, keinginan, dll merupakan cara dari penghentian ( nivrtti ), sehingga bhakti membantu Jiva untuk melepaskan belenggu dalam wujud keberadaan duniawi, menuntunnya untuk menuju Moksa, terserap ke dalam Siva. Sesungguhnya Bhakti dan ( Kala ) Sakti adalah satu dan sama, yang berbeda hanyalah pada akibatnya saja. Sakti menekan Jiva kebawah dan melepaskan belenggu dari jiwa. Dengan kata lain, menurut Vira Saiva, kedua aspek Sakti ini merupakan daya-daya yang mengarah keatas dan kebawah. Penafsiran tentang Tirodhana sakti menurut Meykandadeva,  Umapati dan Srikumara, yang mempersamakannya dengan Prakrti, memiliki 2 fungsi, yaitu membelenggu dan membebaskan roh, tampaknya benar-benar sependapat dengan pemikiran Vira Saiva tentang Sakti.
Dari Kala sakti muncul 6 sub sakti, yaitu: Cicchakti, Parasakti, Adi sakti, Iccha Sakti, Jnana sakti dan Kriya sakti; jadi bukan 5 seperti yang dinyatakan Trika, atau 3 seperti yang dinyatakan dalam Saiva Siddhanta, tetapi mereka memasukkan semuanya. Pembagian ini disesuaikan dengan 6 sthala, yang masing-masing satu diperuntukkan bagi sebuah Linga.
Dari Bhakti sakti muncul 6 sub sakti juga, yaitu: Samarasa bhakti, anandabhakti, Anubhava bhakti, Avadhana bhakti, Naisthiki bhakti dan Sad bhakti, yang mengikatkan dirinya pada 6 Anga dari Angasthala. Menurut Vira Saiva, Kalasakti tampaknya menjadi Maya, yang juga disebut Avidya, yang merupakan jurang pemisah antara Siva dan Jiva. Nisthura Nanjanacarya tampaknya menganggap Maya sebagai Kriya sakti, yaitu sub sakti ke 6 dari Kalasakti. Dalam Vacanasastra banyak hal-hal yang tampaknya sama-sama mempersamakan Kala sakti dengan Maya, sedangkan menurut Vira Saiva, Kala bukan hanya seni bangunan, seperti yang disarankan oleh Caterji, tetapi juga merupakan potensi kosmis, Kalasakti tampaknya memasukkan semua fungsi dari Maya dan hasil-hasilnya dari sistem Saiva Siddhanta dan Trika, dimana Kala dinyatakan hanya satu produk penting dari Maya. Didalam Saiva Siddhanta, Maya merupakan pemberi penerangan ( prakasavarupa ) dan membantu sang roh untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman belenggu; sedangkan Vira Saiva menganggap Maya mengikat Jiva terus menerus. Dalam Siva Siddhanta Maya juga merupakan kesatuan yang bersifat abadi, yang tak bersumber pada Siva sedang dalam Vira Saiva, yang merupakan kesatuan yang abadi hanyalah Siva, dan segala sesuatunya bersumber pada Siva juga.
Umumnya, kata Maya dipergunakan dalam vacana sastra, dengan pengertian “keterikatan duniawi”, “yang menyebabkan keterikatan dengan obyek duniawi”, “yang ada pada setiap roh laksana minyak dalam biji wijen, ujung lancip dari duri dan keharuman pada bunga”, “kelupaan yang disebabkan oleh samsara”dsb.
Maya dalam Advaita Vedanta merupakan enerji dari Isvara yaitu daya yang bersatu padu denganNya, dengan mana ia merubah potensinya menjadi 2 ragam, keinginan ( kama ) dan penentuan ( sankalpa ); yang merupakan daya penciptaan dari Tuhan yang abadi, sehingga ia ( maya ) juga bersifat abadi. Maya tidak memiliki tempat yang terpisah, dan ia ada dalam Isvara, seperti panas dari api. Peniadaan Maya dengan pengetahuan dan realisasi diri, dengan sendirinya diperoleh dari pelaksanaan Satsthala.

5.    Penampakan dan Realitas
Menurut Saiva Siddhanta, alam dunia berasal dari Maya ( materi, yang tidak murni, potensi alam semesta ) yang merupakan kesatuan nyata yang abadi, diakui sebagai nyata adanya. Tetapi Meykandadeva menyatakan bahwa hal itu tidak nyata ( asattu ) dan ketidaknyataannya ditafsirkan sebagai tidak sama dengan “khayalan” semacam teori tali ular ( rajjusarpa-nyaya ) dari Advaita Cvedanta, tetapi mengandung arti “tidak abadi” atau “subjek penciptaan dan penghancuran”.
Trika, walaupun sifatnya Advaita mengakui realitas alam dunia dalam pengertian bahwa Maya sebagai sumber alam dunia ini di akui nyata, disebabkan asalnya dari Paramasiva Yang Nyata. Vira Saiva yang tampil sebagai suatu Advaita khusus, tampaknya mulai dengan kepercayaan pada realitas alam dunia, tetapi realitas ini berangsur-angsur lenyap sejalan dengan kemajuan spiritual dari roh pribadi tersebut.
Hal penting lainnya yang perlu dicatat adalah tentang penjelasan mengapa dunia ( alam semesta ) ini diadakan. Menurut Saiva Siddhanta, alam dunia ini diciptakan untuk membersihkan ketidakmurnian awal yang dimiliki Jiva, yang berarti bahwa apabila jiwa seluruhnya telah menjadi murni, maka alam dunia ini tak perlu ada sehingga tak ada penciptaan maupun peleburan. Pemikiran ini sejalan dengan “Samkhya Karika”, dimana Prakrti akan berakhir seperti pada akhir permainan dari seorang artis panggung.
Menurut Trika, penciptaan alam semsta adalah disebabkan oleh kehendak parama Siva itu sendiri, sebagai sport ( lila )-Nya, sehingga tidak ada awal dan akhir dari keberadaan alam semesta dan setiap saat terdapat penciptaan serta peleburan ( pengembalian ). Pendapat Vira Saiva sesuai denganpendapat dari Trika, yang beranggapan bahwa senuanya ini beremanasi ( berasal ) dari Siva, dan Jiva tiada lain dari parama Siva dibawah pembatasan ( kancuka ).



6.    Alam Semesta dan Jiva
Tentang proses evolusi dari alam semesta dan susunan badan fisik mahluk hidup, Vira Saiva tampaknya memiliki pandangan yang berbeda dan bebas dibandingkan dengan Saiva Siddhanta dan Trika dan keduanya mempertahankan ajaran tentang 36 tattva, yang merupakan faktor utama dalam membentuk alam semesta ini. Paling tidak pada abad ke 12 Masehi, ketika Vira Saiva ditegakkan kembali, konsep tentang 36 tattva tidak mempenagruhi ajaran Vira Saiva.
6.1.    Evolusi Alam Semesta
Kepustakaan yang apling populer yang tersedia, yang membicarakan proses evolusi alam semsta adalah tulisan Cennabasava, dalam ‘Karana Hasuge’. Cennabasava adalah kemenakan dari Basava, yang menjadi pimpinan spiritual dari aturan kependetaan Vira Saiva ( virakta ) setelah Prabhudeva. Menurut buku ini, evolusi alam semesta adalah sebagai berikut :
Pada awalnya secara logika dan bukan mengenai waktu terdapat ketiadaan, yang merupakan suatu ketiadaan sepenuhnya ( sunya ), yang tak terbayangkan dan tak dapat ditelusuri ( sarva-sunya ); tidak sesuatupun yang ditopang ( niralamba ). Sunya ini dikenal sebagai Niralamba-Brahma ( Brahma tanpa penunjang ) dan selanjutnya menjadi Niranjana-Brahma, yaitu Brahma tanpa noda, murni dan sederhana, tanpa emosi dan nafsu. Pemikiran ( nenahu ) dari Brahma ini dikenal sebagai Niranjana-Omkara-sakti, yaitu daya yang hanya merupakan huruf murni “Om” yang tanpa emosi. Penamapakan dari pemikiran ini dalam Niranjana Brahma mewujudkan Sunya-Linga, yaitu Linga dari ketiadaan yang semata-mata merupakan sifat dari Pranava “om” Linga ini memiliki Maha-jnana-Citta, yaitu pemikiran dalam wujud pengetahuan tertinggi sebagai Anga atau badanya. Sebagai hasil dari pemikiran ini, muncullah Niskala-Brahma, yaitu Brahma tanpa bagian-bagian, yang memiliki Jnana-Cittu, yakni pemikiran dalam wujud pengetahuan sebagai badan ( Anga ) nya. Brahma ini, melalui kerjasama Jnana-Cittu menghasilkan Cinnada, Cidbindu dan CitKala, yaitu Cit sebagai suara, Cit sebagai potensialitas dan Cit sebagai seni membangun ( kala ), tetapi dalam semua hal tampaknya kata Cit dipergunakan bukan hanya dalam pengertian pemikiran saja, tetapi juga dalam pengertian tentang sesuatu seperti Caitanya.
Kemudian Cinnada, Cidbindu dan Cit-Kala secara bersama-sama dengan sumbernya, yaitu Jnana-Cit, kesemuanya mengenakan bentuk padat, menjadi Mahalinga ( linga yang agung ) yang keseluruhannya sempurna dan tertinggi dalam kesemarakan, dalam wujud suatu tiang bulat menyala dengan aksara “Om” sebagai landasannya. Selanjutnya Mahalinga merubah dirinya kedalam wujud yang setelah mewujudkan lima linga, bersatu pada 5 Sadakhya, atau kemegahan dari 5 linga, yaitu :
1.    Karma-Sadakhya, atau kemegahan dari Acara-linga.
2.    Kartr-Sadakhya, atau kemegahan dari Guru-linga.
3.    Murti-Sadakhya, atau kemegahan dari Sivalinga.
4.    Amurti-Sadakhya, atau kemegahan dari Jangama-linga.
5.    Siva-Sadakhya, atau kemegahan dari Prasada-linga.

Kemegahan dari lima linga ini menjadi : Sadyojata, Vamadewa, Aghora, Tatpurusa dan Isana, yaitu lima muka dari wujud yang dikenakan oleh Mahalingga yang kemudian menjadi Sadasiva-murti. Dari kelima muka ini muncul 5 aksara, yaitu : Na, Ma, Si, Va,dan Ya, yang dalam gilirannya merupakan sumber dari Nivrtti, Pratistha, Vidya, Santi dan Santyatita. Kelima Kala ini selanjutnya dikenal sebagai lima sakti, yaitu : Kriya, Jnana, Iccha, Adi dan Para, dari muka rahasia Sadasiva Murti muncullah Atma.
Kemudian dari lima muka, mata dan pikiran Sadasiva-murti dihasilkan 5 unsur utama, matahari, dan bulan; yang menjadi sumber alam semesta, yang terdiri dari obyek-obyek yang bergerak maupun yang tak bergerak. Unsur-unsur ini diterima bukan sebagai hasil tetapi sebagai emanasi ( proyeksi ), yang kesemuanya, yaiut matahari bulan dan sang Diri ( Atma ) adalah jiwa dalam bentuk ini; sehingga digambarkan sebagai 8 wujud dari Siva atau Sadasiva. Dari sini selanjutnya muncul dunia, lautan, bintang-bintang, pegunungan dsb, yang disebut Brahmanda atau Ajanda, yaitu telur Brahman.

6.2.    Jiva
Menurut Saiva Siddhanta, jumlah jiva adalah tak terbatas dan dikelompokkan menjadi 3 golongan, yaitu: Sakala, Pralayakala dan Vijnanakala, sesuai dengan pengaruh dari 3, 2 atau satu Kala masing-masing. Ia merupakan kesatuan abadi yang berbeda dengan Tuhan ( Siva ). Menurut Trika, Parama Siva merupakan roh dibawah pembatasan oleh kancuka ( selubung ) dan menjadi banyak sesuai dengan teori abhasa dan tampaknya Vira Saiva lebih mendekati pada pemikiran Trika ketimbang pemikiran Saiva Siddhanta. Seperti Trika, Vira Saiva menelusuri asal mula dari Jiva pada Yang Maha Kuasa, dimana Parama Siva memproyeksikan kehendaknya kehendaknya menjadi alam semesta termasuk Jiva dan karena dibungkus oleh kancuka, tidak menyadari dirinya yang sebenarnya, ibarat seorang bayi yang ditutupi dengan pakaian pembebat, yang secara utuh merubahnya menjadi Purusa atau Jiva, yang oleh abhasa menjadi tak terhitung banyaknya. Vira Saiva tidak menelusuri asal. Jiva persis seperti pemikiran Trika ini, tetapi menganggap Jiva identik dengan Atman yang dihasilkan langsung dari Sadasiva-murti, dengan panca mahabutha, matahari dan bulan dan disini disebut sebagai Anga, yang menjadi Jiva apabila diproyeksikan pada avidya dan merupakan satu aspek dari Para Brahman, yang hakekatnya adalah Saccidananda, sedang aspek lainnya adalah Linga.

7.    Jenjang Spiritual ( Satsthala )
Sthala, adalah “tempat” dimana seluruh alam semesta, dengan obyek bergerak maupun tak bergerak berasal, ditunjang dan dipelihara, serta kemana nantinya ia dikembalikan. Ia adalah ‘Aksara’, tattva, intisari, yang tak terhancurkan dan tempat tertinggi bagi mereka yang mencapai Nirvana, yaitu relisasi diri sepenuhnya. Ia adalah Sivatattva yang tiada lain adalah Para-Brahman, yang memiliki karakteristik Sat, Cit dan Ananda. Maswinara ( 2006 : 303 ).
Sthala pada umumnya dipergunakan dalam pengertian “tahapan”, “jenjang” atau tempat penghentian bagai sang roh dalam perjalan spiritualnya dan setiap Sthala merupakan suatu persiapan untuk menuju jenjang berikutnya yang lebih tinggi. Kehidupan spiritual dari penganut Vira Saiva diatur dalam 6 jenjang. Jiva, karena diselubungi oleh Avidya hanya mengamati obyek material atau “bhoga” yang dianggapnya mendatangkan segala kebahagiaan; tetapi pada suatu saat, secara ajaib timbul pemikiran bahwa material bukanlah segalnya dan ia mengamati bahwa terdapat bebrapa tujuan didalamnya dan kekuatan misterius berada dibelakangnya. Pemikiran ini meningkat secara perlahan-lahan dalam keyakinannya terhadap kekuatan Yang Maha Kuasa dan ia ingin mengetahuinya. Keadaan ini merupakan titik awal didalam pengkajian spiritual dan berkaitan dengan awal dari Bhaktasthala, yaiut suatu tahapan dalam kehidupan spiritual manusia dimana ia mempercayai akan keberadaan Tuhan dan mempersembahkan rasa bhaktinya kepada-Nya.
Vira Saiva mengakui 6 jalan menuju penyatuan akhir, dimana yang satu melampaui lainnya, yang disebut sebagai:Varna, Pada, Mantra, Kala, Bhuvana dan Tattva. Ia juga mengakui adanya 6 bentuk anugerah atau karunia Siva, yaitu :
7.1.    Mahesvaratatvavirbhava, yaitu kesadaran intelektual atau pencapaian Tuhan sebagai kebahagiaan abadi dan transendental yang diperoleh melalui mendengarkan naskah-naskah suci, perenungan terhadapnya dan visualisasi arti maksudnya.
7.2.    Sadasiva tattva, yaitu realisasi dari kategori ketiga, yang disebut Sadasiva, yang merupakan suatu tingkatan spiritual, di mana objektifitas dan subjektifitas, atau “ Aku “ dan “ ini “, terbebas dari segala unsur pribadi dan sama-sama bersinar.
7.3.    Siva sakti samyoga, yaitu kontak dengan daya Tuhan, yang disebabkan pelaksanaan Yoga, seperti yang diberikan dalam Saivagama dan disebut sebagai Siva-Yoga.
7.4.    Sarva-bhuvana-gamana paroksa darsana, yaitu kemampuan untuk pergi ke semua alam dunia dan untuk melihat yang tak dapat di amati.
7.5.    Animadyaisvarya, yaitu pencapaian daya menjadi lembut atau meresapi segalanya, yang disebabkan pertemuan dua udara vital, yaitu Prana dan Apana; yang berakibat pada pencapaian daya yang menguntungkan ( kalyana vibhuti ), yang tiada lain merupakan satu bagian dari Kesadaran Semesta ( citkalamaya ) dan mencerahi alur tengah, yaitu susumna nadi.
7.6.    Unmanyavasthaprapti, yaitu pencapaian keadaan transendental yang merupakan tingkatan yang tak terpastikan, karena Manas tidak berfungsi atau terserap.