Jumat, 03 Januari 2014

SIVA VISESADVAITA DARI SRIPATI ( VIRASAIVA )

SAIVA SIDDHANTA 1
SIVA VISESADVAITA DARI SRIPATI
( VIRASAIVA )


1.    Pendahuluan
Seperti diketahui bahwa ajaran Vira Saiva merupakan sistem yang memandang tentang identitas roh ( jiva ) dan Siva berjenjang sesuai dengan tingkat kemajuan spiritual penganutnya. Pada tahap awal, dimana seseorang masih dalam tahapan bhakta ( penyembah ), ia merasakan adanya perbedaan ( bheda ) antara si penyembah ( bhakta ) dengan yang disembah ( siva ) dan dengan semakin majunya tingkat perkembangan spiritual seseorang, maka akan tercapailah abheda ( tiada perbedaan ) antara si penyembah ( roh ) dengan yang disembah ( siva ).
Kata “ Vira Saiva” tampaknya memiliki makna historis yang menunjukkan sikap kepahlawanan dari para pengikut Saivaisme dalam mempertahankan keyakinannya ( vira= kegigihan, keperwiraan ). Dalam Siddhanta Sikhamani, terdapat suatu percakapan antara Renuka atau Revana dengan Agastya tentang arti kata “Vira” tersebut, yaitu :
1). “Vi” artinya pengetahuan ( vidya ) yang menyatakan bahwa subyek pribadi ( Jiva ) identik dengan Siva dan para pengikut Saivaisme yang menemukan kepuasan dalam pengetahuan semacam itu adalah “Vira Saiva”.
2). Pengetahuan yang diperoleh seseorang dari belajar Vedanta, yang ditunjukkan oleh kata “Vi” dan “Vira” adalah yang menemukan kedamaian pikiran di dalamnya. Kriyasara memberikan arti tambahan terhadap kata “Vira” tersebut, yaitu sebagai berikut :
3). “Vi” artinya “keragu-raguan” (vikalpa); “Ra” artinya “tanpa” Jadi, Vira Saiva artinya “keyakinan dan filsafat Saiva yang bebas dari keragu-raguan”.
Jadi Vira Saiva disini merupakan suatu ajaran yang mampu menghentikan hasutan mental ( pikiran ), sehingga memungkinkan untuk dapat mencapai unutk dapat mencapai mukti ( pembebasan ). Maswinara ( 2006 : 280 ).  Vira Saiva juga disebut Lingayata atau Lingavanta, karena salah satu sraddha-nya adalah kepercayaan akan Linga, yang tiada lain adalah Siva dan mereka yang sudah di inisiasi oleh guru spiritual menjadi sadar bahwa pada dirinya bersemayam Linga atau Siva.
Ia juga disebut sebagai Dvaitadvaita, karena ia berpendapat bahwa ketulusan ( bhakti ) merupakan cara yang utama untuk penyatuan ( sayujya ) dengan realitas terakhir, yaitu Siva. Ketaatan mengandaikan realitas dan mahluk, keduanya terpisah, yaitu subyek dan obyek, si penyembah dan obyek yang disembah, si pemuja dengan obyek yang dipuja, si perenung dengan yang direnungkannya ; tetapi akhir dari semuanya ini, yang diwujudkan melalui hal-hal diatas, tidak menjadi satu, dimana subyek dan obyek memiliki keberadaan yang terpisah.
Ia juga disebut “sesvaradvaita”, karena katagori pertama menurut sistem ini adalah “pati” atau Tuhan dan konsepsi tentang katagori terakhir bukanlah yang merupakan tanpa isis atau keberadaan kosong, tetapi yang berkuasa sepenuhnya; dan segenap kejamakan dari alam semesta, baik yang subyektif maupun yang obyektif, memiliki keberadaan di dalam daya-Nya, persis seperti kejamakan yang menyusun sebatang pohon, yang ada di  dalam sebutir biji ( benih ), dari mana ia bertunas dan tumbuh berkembang dan Ia adalah Tuhan atau Pati, karena Ia memiliki daya, walaupun ia tak berbeda dengan-Nya, seperti sifat kehangatan dalam api.
Ia disebut visesadvaita atau savisesadvaita, karena ia bertentangan dengan nirvisesadvaita dari Sankara, yaitu Saguna-Brahmavada dan bertentangan dengan Nirguna-Brahmavada; juga berlawanan dengan teori bahwa dunia empiris hanyalah khayalan; juga terhadap perbedaan antara realitas praktis ( vyavaharika satya ) dan realitas nyata ( paramarthasatya ) dan terhadap pandangan bahwa pembebasan merupakan penolakan terhadap sifatnya.
Ia disebut Sivadvaita, karena berpendapat bahwa realitas terakhir adalah Siva, keberadaan universal yang meresapi segalanya, dalam nama segenap kejamakan dari dunia obyektif memiliki keberadaan secara potensial dan berkembang dariNya sebagai akibat dari kehendakNya, dan karena kejamakan yang terpendam di dalamnya walaupun kejamakan itu menjadi berwujud halus atau pun kasar, namun tidak berada di luar diriNya.
Ia juga disebut Sarvasrutisaramata, karena ia menyatakan bahwa dasar pandangannya berasal dari semua naskah suci dan mempertahankan secara konsisten dan selaras, penafsiran dari semua pernyataan yang tampaknya bertentangan, yang diketemukan dalam Sruti.
Ia disebut Dualis Monistik, karena ia berpendapat bahwa Dvaita dan Advaita, atau Dualis dan Monistik, walaupun bertentangan satu sama lainnya, apabila dinyatakan pada tingkatan yang sama dan dari titk pandang yang sama; namun keduanya akan dapat didamaikan apabila keduanya dilihat dari sudut pandang yang berlainan. Ia menyatakan bahwa pribadi berbeda dengan Siva pada tingkatan empiris, tetapi menjadi satu denganNya apabila ia bergabung kedalamNya pada saat pembebasan, persis seperti perbedaan antara sungai-sungai dan lautan pada bidang yang berlaina, tetap akan menjadi sama atau menajdi satu apabila aliran sungai itu sudah bergabung dengan lautan. Monisme menunjukkan tentang keadaan penyebab, sedangkan Dualisme menyatakan tentang keadaan akibat.
Ia disebut Sakti Visistadvaita, karena Vira Saiva menolak untuk menerima pernyataan bahwa dalam kesadaran diri, perbedaan material dan bentuk dihapuskan, karena dalam kesadaran diri pun ia membedakan sisi material dan sisi bentuk, momen potensial dan momen aktual. Momen potensial dan material dari Yang Mutlak di istilahkan sebagai Siva dan momen aktual dan momen formal dari Yang Mutlak di istilahkan dengan Sakti. Ia membayangkan persekutuan antara Siva dan Sakti secara integral.
Kriya Sara oleh Nilakantha mengemukakan Sakti visistadvaita yang diterima oleh para pengikut Vira Saiva dan menafsirkan sloka-sloka Brahma Sutra dari Badarayana dalam pandangan Visistadvaita.
Vira Saiva mencela pandangan Sankara mengenai Vedanta tentang teori pelapisan ( adhyasa ), kenyataan praktis ( vyavaharikasatya ), sifat khayal dari alam semesta dan teori tentang refleksi atau pantulan. Menurut Vira Saiva, sesuai dengan pandangan dari Sripati Panditaradhya, teori pelapisan yang dinyatakan oleh Sankara bertentangan dengan pernyataan naskah suci, yang membicarakan tentang penyebab hubungan antara Brahman dan alam semesta, Sehubungan dengan masalah kenyataan praktis, Sripati mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1). Apakah itu berarti bahwa sesuatu yang hanya kenyataan praktis semacam itu tidak berlanjut melalui hal-hal yang akan terjadi ( kalantaranavasthaytiva ), atau
2). Bahwa demikian itu berbeda dengan “keberadaan” dan “bukan keberadaan”, atau
3). Bahwa yang semacam itu tak dapat dikatakan sebagai “keberadaan” atau sebagai “bukan keberadaan”.
Menurut Sripati, pandangan yang demikian itu tak dapat dipertahankan, karena perbedaan dapat ditarik hanya tentang Brahman dan Prakrti dan argumentasi tentang hal ini sangatlah halus, sulit dan sangat dalam artinya, sehingga memerlukan ruang pembahasan yang lebih luas.
Sripati membicarakan tentang Sankara sebagai seorang Bauddha dalam pakaina seorang Vedantin ( pracchana bauddha ). Ia menyebut Sankara Vednta “nirvisesadvaitamata”, karena ia berpendapat bahwa Tuhan, alam semesta dan subyek pribadi, sebagai khayalan. Ia berpendapat bahwa sistemnya Sankara disalahkan oleh Badarayana dalam “abhavadhikarana”nya Vedanta Sutra. Ia bertanya : “Apakah penolakan ( abhava ) tentang Tuhan, alam semesta dan subyek pribadi berarti bahwa mereka tidak memiliki keberadaan apapun, seperti tanduk dari seekor kelinci ( truwelu ) atau anak dari seorang wanita mandul; atau merupakan khayalan seperti kejamakan yang dialami dalam mimpi? Ia menunjukkan bahwa penolakan jenis pertama itu bertentangan dengan kenyataan pengalaman, karena kita secara aktual menerima kejamakan obyektif pada tingkat empiris, tetapi tanduk dari seekor kelinci tak dapat diamati dan tidak tepat. Subyek pribadi juga secara jelas dialami pada saat munculnya fenomena pengetahuan yang berbeda dengan obyek dan caranya. Oleh karena itu, hanya memandang pengetahuan ( jnana ) saja yang ada, tanpa perbedaan subyek-obyek dan caranya, membuat diri seseorang menjadi suatu obyek cemohan. Dan Tuhan juga merupakan obyek pengalaman keagamaan atau mistik. Oleh karena itu, penolakan tentang dunia obyektif dan Tuhan, tak dapat diamati.
Atau, dapatkah dunia obyektif dinyatakan khayalan ( mithya ) seperti sebuah mimpi, karena dunia obyektif pada keadaan jaga sangat berbeda dengan yang kita lihat dalam mimpi. Mimpi dipertentangkan dengan pengalaman jaga, karena kita tidak menemukan apa yang kita alami dalam mimpi, ketika kita terbangun. Tetapi obyek yang kita alami dalam keadaan terjaga, akan kita ketemukan, walaupun setelah bermimpi. Selanjutnya perbuatan bajuk dan dosa yang dilakukan dalam mimpi, tak menghasilkan pahala atau ganjaran terhadap hal yang sama dalam mimpi; tetapi perbuatan-perbuatan yang sama, yang dilakukan dalam keadaan terjaga, akan menghasilkan pahala dan ganjaran.
Karenanya penolakan terhadap realitas dunia empiris, pada dasar perkiraan yang sama dengan dunia mimpi, adalah tidak logis; sehingga salah untuk menyatakan bahwa pengalaman keadaan terjaga tanpa menunjuk kepada kenyataan obyektif, sebagai di dalam mimpi. Selanjutnya, apabila semua pengetahuan diskui tanpa adanya penunjukkan obyektif ( jnananam arthasunyatva ), masalah yang hendak dibuktikan oleh para Vedantin tak dapat dibuktikan; karena Advaita Vedantin berusaha untuk membuktikan keberadaan Brahman dengan penyimpulan. Tetapi penyimpulan itu sendiri juga merupakan sejenis pengetahuan. Sehingga tak dapat menunjukkan terhadap apa sebenarnya keberadaan itu.
Tetapi Advaita Vedantin dapat mengatakan bahwa keberadaan dunia obyektif yang sesungguhnya ditolak hanya karena ia dipertentangkan oleh pengalaman mistik ( brahmajnana baddhyatvam ). Terhadap hal ini, Sripati menjawab bahwa pengalaman dari dunia obyektif bukan berarti penolakan atau pertentangan dari keberadaannya; karena hal itu disebabkan oleh munculnya subyek yang mengatasi tingkatan kelekatan obyektif. Ketiadaan pengalaman objektifitas pada tingkatan mistik sama dengan ketiadaan pengalaman pada tingkatan tidur lelap tanpa mimpi. Maswinara ( 2006 : 284 ).
Atau, dapatkah Nirvisesa Vedantin membuktikan keberadaan dari Nirvisesa Brahman berdasarkan naskah-naskah suci; karena mereka juga merupakan cara pengetahuan ( sabda pramana ). Dan Advaintin mengakui bahwa cara pengetahuan tidak memiliki referensi terhadap obyek yang sebenarnya. Oleh karena itu, Brahman yang di buktikan dengan bantuan Sruti juga tiada lain merupakan khayalan; dan segala sesuatunya kecuali Brahman menjadi khayalan, demikian pula kitab suci harus diakui sebagai demikian itu, sehingga tak dapat membuktikan Brahman menjadi bukan khayalan atau nyata.
Ada perbedaan pendapat diantara para pengikut Vedanta mengenai konsepsi tentang Tuhan dan tentang subyek pribadi. Menurut sebagian kelompok, baik Tuhan maupun roh pribadi, hantyalah pantulan dari keberadaan universal tunggal, yang merupakan pantulan ( caitanyamatram bimbam ); yang dipantulkan dalam Maya, sebagai kebodohan universal, adalah Tuhan; tetapi yang dipantulkan dalam indra dalam ( antahkarana ) adalah roh pribadi. Perbedaan antara Tuhan dan roh pribadi adalah bersifat kwantitatif, seperti perbedaaan bayangan matahari pada sebuah kolam dan pada sebuah cangkir; dimana yang pertama meresapi segalanya, tetapi roh pribadi sifatnya terbatas.
Berikut ini adalah kritik dari Sripati terhadap pandangan tentang teori pantulan dari Sankara. Suatu Pandangan yang dikemukakan harus selaras dengan kenyataan pengalaman, apabila hal itu untuk menguasai penerimaan secara umum. Bagaimana pun juga, pandangan bahwa Tuhan dan roh hanyalah pantulan dari keberadaan tunggal yang universal, bertentangan dengan kenyataan, sehingga tak dapat diterima, karena hanya yang memberikan pantulan dan yang menerima pantulan sajalah yang keberadaannya jelas. Pembicaraan tentang pantulan ether ( akasa ) dalam kolam, tidak memiliki dasar selain khayalan. Selanjutnya, pantulan diperlukan pada suatu ruang, dimana tak ada pantulan. Tetapi Brahman adalah meresapi segalanya, sehingga tak mungkin ada pantulannya. Dalam “guhah pravistavatmanau hi tad darsanat”, Jiva dan Brahman dikatakan menempati ruang yang sama. Bukankah hal ini bertentangan dengan teori pantulan? Bagaimana pantulan dan yang dipantulkan ada pada tempat yang sama? Karena itu tak akan terjadi penghancuran Maya pada saat pembebasan, yang berarti penghancuran dari Jiva, sehingga teori bahwa Jiva hanya merupakan pantulan dari Brahma tak dapat dipertahankan.
Sripati Panditataradhya juga mencela Visistadvaita, dalam penggunaan istilah “Visistadvaita” mengenai atribut dan bahan yang dikaitkan dengan sang diri tertinggi dan roh-roh pribadi. Hubungan antara diri tertinggi dan roh harus didefinisikan sebelum kita dapat membicarakannya sebagai bahan dan atribut. Hal itu tak dapat dikatakan ada bersamanya ( samavaya ), karena mereka ada dalam keadaan terisolasi satu sama lain dan juga tak dapat dikatakan hanya kontak ( samyoga ) saja, karena apabila dikatakan menjadi meresapi ( vyapyavrtti ), itu akan berarti pengakuan identitas dari keduanya, karena keduanya tanpa bagian-bagian. Mengenai “svarupasambandha”, hal itu tidak logis, sehingga umunya tidak diketahui dan apabila toh diakui menjadi suatu hubungan, sehingga bergantung pada keduanya, hal ini bertentangan dengan non dualis. Berdasarkan hal-hal ini, maka istilah “Visistadvaita” juga bertentangan.
Sripati secara tegas menyalahkan konsepsi tentang pembebasan ( moksa ) sebagai pencapaian penyamaan dengan Siva dan menyatakan bahwa pembebasan adalah penyatuan dengan Siva ( sayujya ).
2.    Kepustakaan, Penulis dan Orang-orang Suci
2.1.    Kepustakaan
Otoritas ajaran Vira Saiva didasarkan pada 28 Saivagama seperti dinyatakan pada filsafat Saiva secara umum, dimana 10 buah berasal dari Siva Dualis, sedangkan 18 buah berasal dari Dualis-cum Monistik dan ke 28 Saivagama tersebut juga merupakan otoritas ajaran Saiva Siddhanta.
Berdasarkan otoritas 28 Saivagama, para bijak Vira Saiva menuangkan pokok-pokok ajaran Saiva ke dalam Vacana Sastra, yang hidup kembali dalam abad ke 11 dan berkembang sampai abad ke 18 dan diketahui ada 213 penulis Vacana Sastra. Vacana Sastra ini pada waktu sekarang sangat populer dan mendapat tempat yang terhormat di hati para pengamat Vira Saiva. Vacana-vacana ini dilagukan karena ia memiliki keindahan khusus, yang disusun dalam bahasa sederhana dan mudah dimengerti sekalipun bagi mereka yang kurang terpelajar.
Tujuan utama penulisan vacana sastra tersebut bukan menjelaskan secara mendalam prinsip-prinsip agama dan filsafat melainkan ditekankan pada pengungkapan kondisi sosial dan praktek agama yang banyak menyimpang pada waktu itu.
2.2.    Penulis Wacana Sastra dan Orang-Orang Suci ( Acarya )
Para penulis Vacana Sastra berasal dari berbagai lapisan sosial masyarakat, para brahmana, chandala, wanita dari semua golongan, pedagang, pengrajin, dll. Nama-nama yang patut disebut sebagai penulis Vacana Sastra adalah sebagai berikut :
1.    Jedara Dasimayya ( 1040 Masehi )
2.    Ekadanta Ramayya
3.    Siva lenka Mancanna ( 1160 Masehi )
4.    Sripati Panditaradhya ( 1160 Masehi )
5.    Mallikarjuna Panditaradhya ( 1160 Masehi )
6.    Sakalesa Madarasa ( 1150 Masehi )
7.    Prabhudeva ( 1160 Masehi )
8.    Basava ( 1160 Masehi )
9.    Cenna Basava ( 1160 Masehi )
Tradisi keagamaan yang berlaku diantara kehidupan Vira Saiva, mengatakan bahwa Vira Saiva didirikan oleh 5 orang acarya, yaitu :
1.    Ranukaradhya atau Revanaradhya
2.    Darukaradhya atau Marularadhya
3.    Ekoramaradhya
4.    Panditaradhya
5.    Visvaradhya
Kelima acarya ini dipercaya muncul dari Linga, yang masing-masing berasal dari : 1. Siva-linga Somesvara di Kollipaki, 2. Dari Vata-vrksa Siddhesvara, 3. Dari Ramanatha di Draksarama Ksetra, 4. Dari Mallikarjuna di Srisaila dan 5. Dari Visvanatha di Kasi ( Benares ).
Ajaran unggulan dari sistem Vira Saiva adalah : 1). Astavarana, yaitu 8 sraddha yang mencirikan penganut Vira Saiva, yang berbeda dengan penganut lainnya; dan 2). Satsthala, yaitu 6 cara ( jenjang ) pengembangan spiritual. Maswinara ( 2006 : 287 ). Asvarana, atau 8 sraddha yang mencirikan penganut Vira Saiva tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Guru
Pembimbing spiritual yang akan melakukan diksa kepada para pemula dan penghormatan kepadanya adalah tanpa batas. Seorang guru kedudukannya lebih tinggi dibandingkan dengan orang tuanya sendiri, karena seorang guru mampu mengantarkannya menuju pembebasan, sedangkan orang tuanya sendiri hanya mampu memberinya badan kasar.
2.    Linga
Linga merupakan Para Siva sendiri dan bukan seperti yang dipikirkan oleh para orientalis yang menyatakan bahwa linga dianggap sebagai organ generatif dari laki-laki. Linga berasal dari akar kata “li” dan “gam”. “Li” artinya mengembalikan, dan “gam” artinya pergi atau keluar atau memproyeksikan. Jadi Linga, adalah Ia yang memproyeksikan alam semesta dan mempralaya ( mengembalikan ) alam semesta tersebut ke dalam diri-Nya. Bagi penganut Vira Saiva, linga adalah Siva itu sendiri dan bukan hanya sekedar simbul belaka. Linga pada para sadhaka berbentuk Caitanya, yang diberikan oleh seorang guru, melalui kekuatan spiritual untuk di puja. Linga berwujud sinar cemerlang yang ditampakkan di depan mata seorang pemula dan Linga dipercaya sama dengan seorang guru, meskipun ia disampaikan oleh guru. Ia dianggap sama dengan Siva itu sendiri dan tidak boleh dipisahkan dengan badan, sebab sama artinya dengan kematian spiritual. Siva tidak sembah dalam bentuk patung, melainkan dalam bentuk pertama ketika diinisiasikan. Menyembah Siva dalam bentuk lain dipantangkan.
3.    Jangama
Istilah ini hanya dikenal dalam Vira Saiva, yang menyatakan seseorang yang bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya dengan membawakan dharma vacana. Untuk menjadi seorang Jangam harus memiliki kemampuan sebagai berikut yaitu sudah tidak terikat dengan wanita, harta benda, hawa nafsu dan mereka dihormati seperti guru, sebagai Linga. Di dalam ajaran Buddha kita mengenal Tri Ratna, dan dalam ajaran Vira Saiva, mereka itu adalah Guru, Linga dan Jangam.


4.    Padodaka
Secara tersurat artinya “air dari kaki sang guru” atau “air suci”. Penganut Vira Saiva memiliki keyakinan penuh terhadap kesucian seorang Guru, Linga dan juga Padodaka sehingga semua obyek yang terkena sentuhan ketiga hal tersebut, akan menjadi suci.
5.    Prasada
Berupa makanan yang diserahkan kepada seorang guru, kemudian oleh guru, makanan tersebut dikembalikan kepada para bhakta sebagai prasada, yang merupakan makanan yang telah mendapatkan berkah kesucian.
6.    Vibhuti
Yang merupakan “abu suci” yang dipersiapkan dengan konsentrasi tinggi oleh seorang acarya dengan mengucapkan mantra-mantra tertentu.
7.    Rudraksa
Yang merupakan sejenis biji buah yang dipercaya berasal dari mata Siva dan untaian Rudraksa ( rudraksa mala ) dikalungkan di leher, kepala, telinga dan dipakai selama melakukan japa.
8.    Mantra
Yaitu rumusan suci ( sakral ) yang terdiri atas 5 suku kata, yaitu : “Na-ma-si-va-ya”, yang disebut “Pancaksara-mahamantra”, dan jika ditambah suku kata “Om” menjadi “Om namasivaya” dan disebut sadaksara. Bagi penganut Siva, mantra, ‘om namasivaya’ merupakan maha-mantra, seperti halnya Gayatri-mantra di dalam Veda.

3.    Konsepsi Tentang Tuhan
Konsepsi tentang Tuhan dalam sistem Vira Saiva, adalah berjenjang ( sthala ), sesuai dengan pengembangan spiritual dari Jiva dan dalam sistem Vira Saiva terdapat 6 jenjang ( satsthala ), yaitu : 1). Bhaktasthala, 2). Mahesvarasthala, 3). Prasadisthala, 4). Pranalingisthala, 5). Saranasthala, dan 6). Aikyasthala. Setiap bagian memiliki sejumlah sub bagian lagi, yang disebut dengan nama yang berbeda, yang jumlahnya 44 buah dan dikaitkan dengan Siddhanta Sikhamapi, yaitu suatu ku mpulan percakapan antara Renuka dan Agastya. Dengan naskah yang sama, berbagai jenis Linga, cara pemujaan dan perenungan juga diberikan secara rinci, dan Sripati, dalam Srikara Bhasya, jilid II, 95, 96, 105, 106 dsb, juga menunjukkan Linga semacam itu.
Pada tahapan awal sebagai seorang bhakta ( bhaktasthala ) terdapat perbedaan yang jelas antara Jiva dengan Tuhan, dan pada tahapan akhir atau Aikkyasthala, tercapai kesatuan diantara keduanya pada tingkatan bhaktisthala, sang Jiva merupakan seorang bhakta yang melayani Guru, Linga dan Jangama sehingga konsepsi tentang Tuhan sama seperti pada sistem Saiva Siddhanta, dimana selamanya bertindak selaku pelayan jiwa, walaupun sudah mencapai Mukti. Bagaimana penghayatan dualis berkembang menjadi non dualis, akan diuraikan secara ringkas berikut ini.
Pada tahap awal kepercayaan terhadap Tuhan adalah Satu riada duanya. Penganut Vira Saiva sangat teguh keyakinannya terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa, yang mengatasi semuanya dan yang diidentifikasikan sebagai Siva. Akka Mahadevi, seorang rsi wanita yang sangat dihormati, yang hidup pada abad ke 12 Masehi mengatakan sebagai berikut; “Siapakah yang memberi rasa asam pada jeruk mangga dan buah asam? Siapakah yang memberi rasa manis pada batang tebu, tanam-tanaman, kelapa dsb? Siapakah yang memberi zat-zat penghidup pada padi=-padian, gandum, jagung, dsb? Siapakah yang memberikan keharuman pada bunga-bunga sedap malam, mawar, melati dsb. Itu? Air adalah satu, tanah juga satu, langitpun satu adanya. Air yang satu dalam persatuannya dengan obyek lain menghasilkan sifat-sifat yang berbeda, demikian pula halnya dengan Tuhanku ‘cennamallikarjunayya’, meskipun bersatu dengan dunia yang tak terbatas ini, memiliki hakekatnya sendiri”.
Vira Saiva tidak sependapat dengan ajaran polytheisme, dan menolak keTuhanan Brahma, Visnu dan Rudra ( trimurti ), seperti halnya Siva Siddhanta yang menggolong-golongkan Jiva. Vira Saiva menyatakan bahwa hanya ada satu Tuhan, keberadaan yang paling berkuasa, yaitu Siva yang pemurah. Maswinara ( 2006 : 290 ).
Seperti telah dikatakan di depan, apabila jiwa seseorang mencapai bhaktasthala, sebagai jenjang yang pertama, yang merupakan titik awal dari filsafat Vira Saiva, keyakinan terhadap Tuhan sebagai pribadi secara perlahan-lahan menjadi subyek pengkajian hakekat sebenarnya dari Kasunyataan, yang berlanjut sampai jiwa mencapai tahap kemajuan hingga jenjang ke 5 ( saranasthala ), dimana pada periode ini sang jiwa mencapai kesimpulan yang mirip sama dengan ajaran Siva Siddhanta, mengenai penafsiran filosofis terhadap jiwa. Kekhususan ajaran Vira Saiva yang lain, bukan saja pada pencapaian kesimpulan itu saja, tetapi dalam pencapaian apa yang dijelaskan didalam pengkajian selanjutnya.
Dari jenjang pertama smapai jenjang terakhir, wahyu tentang kebenaran dan pencapaiannya bergerak dari pengkajian jenjang awal kejenjang berikutnya. Dengan kata lain, Vira Saiva dengan jelas membedakan pengertian pencapaian dengan berjenjang, sementara Siva Siddhanta dan aliran lainnya menyatukannya.
Dalam jenjang-jenjang spiritual sampai pada jenjang terakhir tampak bahwa uraian tentang Tuhan di dalam mytologi kurang tepat seperti yang dinyatakan oleh Caudayya sebagai berikut:
“Tak ada untaian tengkorak kepala manusia yang dipakai oleh Tuhan, juga tidak memiliki trisula dan gendang tangan ( dhamaru ), juga juga tidak melumuri badannya dengan abu suci dan dalam kenyataannya corak samsara yang paling kecilpuntak dapat ditelusuri padanya. Ia, yang satu-satunya, dengan nama apa dapat disebut ? Ia tidak memiliki nama sama sekali”.
Tuhan tidak memiliki wujud atau pun berwujud dan dalam kenyataannya, Ia tanpa wujud yang tak dipahami, tak dapat diamati, tak dapat dibayang-bayangkan dsb. Sehingga Ia dikatakan sebagai intisari kemuliaan dari kecemerlangan dalam semua kecemerlangan. Ia bukan dari dunia ini maupun dari dunia sana. Dalam pengkajiannya para rsi Vira Saiva secara perlahan-lahan masuk ke dalam rahasia alam semesta. Ia mencirikan bahwa rahasia Tuhan Yang Maha Kuasa mencerminkan kepercayaan akan keberadaanNya, yang menempatkan bumi dilautan tanpa menjadikannya cair dan menempatkan langit tanpa penopang. Disini terdapat kesamaan pendapat dengan Saiva Siddhanta.
Siva meresapi segalanya dan mengatasi segalanya. Ia ada di alam semesta, meresapi alam semesta sepenuhnya tanpa meninggalkan suatu celah yang tak teresapi oleh-Nya, dalam wujud alam semesta itu sendiri dan mengatasinya. Meskipun Siva meresapi semua hal dan tampak pada semua benda, tetapi semua benda itu bukanlah Siva.
Seperti seorang petani yang menebarkan benih, dapatkah npanenan disebut sebagai seorang petani? Demikian pula pengrajin periuk, dimana periuk yang dihasilkannya tak dapat dikatakan menjadi si tukang pembuat periuk; dan keduanya merupakan kesatuan yang berbeda yang tak terpengaruh oleh akibat-akibat dalam alam semesta. Dalam hal ini Vira Saiva sependapat dengan Siva Siddhanta, namun bukan merupakan kebenaran akhir. Untuk mencapai kebenaran akhir, Jiva harus mencapai jenjang spiritual akhir, yang akan memberikan cahaya kebenaran yang paling cerah, dimana pada tahapan ini bukan saja tercapainya perwujudan bahwa dirinya adalah Siva, tetapi juga alam semesta ini adalah Siva.



4.    Sakti atau Maya
Menurut Saiva Siddhanta, sakti bukanlah Maya, tetapi faktor abadi yang penting, yang bekerja sama dengan Siva, dimana tanpa ada kerja sama dengannya, Siva tidak memiliki daya dan tak mampu menghasilkan keberadaan alam semesta yang tersembunyi dalam diri-Nya. Menurut Trika, sakti tidak berbeda dengan Siva, bersumber didalam diri Siva dan merupakan daya kekuatan dari Siva dan juga menjadi sumber Maya atau materi kosmos. Dalam Pancaratra, Sakti atau Laksmi, memunculkan Kriya Sakti dan Bhuti Sakti, yang sesungguhnya merupakan bagian kecil dari Kriya sakti dan merupakan sumber dari materi, sehingga materi bermula dari Laksmi atau sakti. Vira Saiva juga percaya akan perlunya Sakti guna mewujudkan alam semesta ini dan sependapat dengan Trika dan Pancaratra dalam menelusuri sumber materi tersebut dan sependapat pula mengenai asal sakti di dalam Siva; dimana Havinahala Kallayya secara jelas mengatakan bahwa sakti berasal dari dalam Siva, sebagai berikut :
“Bagaikan partikel air yang tak dapat diamati di langit dirubah menjadi butiran-butiran es, demikianlah pemikiran Siva yang mengenakan wujud Sakti dan merupakan langkah pertama dalam pemunculan alam semesta”.
Menurut Maggeya Mayideva, sakti tak terbandingkan dan dijelmakan dengan semua ciri-ciri ( dharma ) dari Siva, karena ia disatukan secara abadi dengan Siva. Ia penyaksi segala sesuatu ( sarvasaksini ) yang merupakan kebenaran sepenuhnya ( satya-sampurna ), yang terbebas dari perubahan ( nirvikalpa ) dan merupakan Isvari yang agung.
Melalui daya kekuatannya sendiri yang bebas, ia ( sakti ) menjadi dua dan dinamakan Kalasakti dan Bhaktisakti. Kalasakti yang terikayt dengan Linga ( para-brahman ), merupakan potensi ( kala ) dan membangun alam semesta. Dalam bentuk pemikiran atau buah pikiran ( vasana rupa ), ia merupakan cara dari aktivitas ( pravrtti ), sehingga dari sakti ini, prapanca atau alam semesta dengan segala permasalahannya ini terwujud. Bhaktisakti mengikatkan dirinya dengan Anga, yang tiada lain adalah roh ( jiva ) dan menghancurkan segala keberadaan ( bhava ), yaitu belenggu yang disebabkan oleh pepermasalahan alam semesta. Bagaikan sinar universal tersembunyi yang tampak dalam wujud sebuah lampu dan mengusir kegelapan di depan mata kita, demikian pula Mahesvari sakti, yang terbagi menjadi Bhaktisakti, yang merupakan wujud dari Saccidananda yang lebih besar, murni, sangat halus, menguntungkan dan tertinggi, serta pemberi karunia dari buah kenikmatan ( bhukti ) dan pembebasan ( mukti ).
Bhakti yang tanpa vasana, keinginan, dll merupakan cara dari penghentian ( nivrtti ), sehingga bhakti membantu Jiva untuk melepaskan belenggu dalam wujud keberadaan duniawi, menuntunnya untuk menuju Moksa, terserap ke dalam Siva. Sesungguhnya Bhakti dan ( Kala ) Sakti adalah satu dan sama, yang berbeda hanyalah pada akibatnya saja. Sakti menekan Jiva kebawah dan melepaskan belenggu dari jiwa. Dengan kata lain, menurut Vira Saiva, kedua aspek Sakti ini merupakan daya-daya yang mengarah keatas dan kebawah. Penafsiran tentang Tirodhana sakti menurut Meykandadeva,  Umapati dan Srikumara, yang mempersamakannya dengan Prakrti, memiliki 2 fungsi, yaitu membelenggu dan membebaskan roh, tampaknya benar-benar sependapat dengan pemikiran Vira Saiva tentang Sakti.
Dari Kala sakti muncul 6 sub sakti, yaitu: Cicchakti, Parasakti, Adi sakti, Iccha Sakti, Jnana sakti dan Kriya sakti; jadi bukan 5 seperti yang dinyatakan Trika, atau 3 seperti yang dinyatakan dalam Saiva Siddhanta, tetapi mereka memasukkan semuanya. Pembagian ini disesuaikan dengan 6 sthala, yang masing-masing satu diperuntukkan bagi sebuah Linga.
Dari Bhakti sakti muncul 6 sub sakti juga, yaitu: Samarasa bhakti, anandabhakti, Anubhava bhakti, Avadhana bhakti, Naisthiki bhakti dan Sad bhakti, yang mengikatkan dirinya pada 6 Anga dari Angasthala. Menurut Vira Saiva, Kalasakti tampaknya menjadi Maya, yang juga disebut Avidya, yang merupakan jurang pemisah antara Siva dan Jiva. Nisthura Nanjanacarya tampaknya menganggap Maya sebagai Kriya sakti, yaitu sub sakti ke 6 dari Kalasakti. Dalam Vacanasastra banyak hal-hal yang tampaknya sama-sama mempersamakan Kala sakti dengan Maya, sedangkan menurut Vira Saiva, Kala bukan hanya seni bangunan, seperti yang disarankan oleh Caterji, tetapi juga merupakan potensi kosmis, Kalasakti tampaknya memasukkan semua fungsi dari Maya dan hasil-hasilnya dari sistem Saiva Siddhanta dan Trika, dimana Kala dinyatakan hanya satu produk penting dari Maya. Didalam Saiva Siddhanta, Maya merupakan pemberi penerangan ( prakasavarupa ) dan membantu sang roh untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman belenggu; sedangkan Vira Saiva menganggap Maya mengikat Jiva terus menerus. Dalam Siva Siddhanta Maya juga merupakan kesatuan yang bersifat abadi, yang tak bersumber pada Siva sedang dalam Vira Saiva, yang merupakan kesatuan yang abadi hanyalah Siva, dan segala sesuatunya bersumber pada Siva juga.
Umumnya, kata Maya dipergunakan dalam vacana sastra, dengan pengertian “keterikatan duniawi”, “yang menyebabkan keterikatan dengan obyek duniawi”, “yang ada pada setiap roh laksana minyak dalam biji wijen, ujung lancip dari duri dan keharuman pada bunga”, “kelupaan yang disebabkan oleh samsara”dsb.
Maya dalam Advaita Vedanta merupakan enerji dari Isvara yaitu daya yang bersatu padu denganNya, dengan mana ia merubah potensinya menjadi 2 ragam, keinginan ( kama ) dan penentuan ( sankalpa ); yang merupakan daya penciptaan dari Tuhan yang abadi, sehingga ia ( maya ) juga bersifat abadi. Maya tidak memiliki tempat yang terpisah, dan ia ada dalam Isvara, seperti panas dari api. Peniadaan Maya dengan pengetahuan dan realisasi diri, dengan sendirinya diperoleh dari pelaksanaan Satsthala.

5.    Penampakan dan Realitas
Menurut Saiva Siddhanta, alam dunia berasal dari Maya ( materi, yang tidak murni, potensi alam semesta ) yang merupakan kesatuan nyata yang abadi, diakui sebagai nyata adanya. Tetapi Meykandadeva menyatakan bahwa hal itu tidak nyata ( asattu ) dan ketidaknyataannya ditafsirkan sebagai tidak sama dengan “khayalan” semacam teori tali ular ( rajjusarpa-nyaya ) dari Advaita Cvedanta, tetapi mengandung arti “tidak abadi” atau “subjek penciptaan dan penghancuran”.
Trika, walaupun sifatnya Advaita mengakui realitas alam dunia dalam pengertian bahwa Maya sebagai sumber alam dunia ini di akui nyata, disebabkan asalnya dari Paramasiva Yang Nyata. Vira Saiva yang tampil sebagai suatu Advaita khusus, tampaknya mulai dengan kepercayaan pada realitas alam dunia, tetapi realitas ini berangsur-angsur lenyap sejalan dengan kemajuan spiritual dari roh pribadi tersebut.
Hal penting lainnya yang perlu dicatat adalah tentang penjelasan mengapa dunia ( alam semesta ) ini diadakan. Menurut Saiva Siddhanta, alam dunia ini diciptakan untuk membersihkan ketidakmurnian awal yang dimiliki Jiva, yang berarti bahwa apabila jiwa seluruhnya telah menjadi murni, maka alam dunia ini tak perlu ada sehingga tak ada penciptaan maupun peleburan. Pemikiran ini sejalan dengan “Samkhya Karika”, dimana Prakrti akan berakhir seperti pada akhir permainan dari seorang artis panggung.
Menurut Trika, penciptaan alam semsta adalah disebabkan oleh kehendak parama Siva itu sendiri, sebagai sport ( lila )-Nya, sehingga tidak ada awal dan akhir dari keberadaan alam semesta dan setiap saat terdapat penciptaan serta peleburan ( pengembalian ). Pendapat Vira Saiva sesuai denganpendapat dari Trika, yang beranggapan bahwa senuanya ini beremanasi ( berasal ) dari Siva, dan Jiva tiada lain dari parama Siva dibawah pembatasan ( kancuka ).



6.    Alam Semesta dan Jiva
Tentang proses evolusi dari alam semesta dan susunan badan fisik mahluk hidup, Vira Saiva tampaknya memiliki pandangan yang berbeda dan bebas dibandingkan dengan Saiva Siddhanta dan Trika dan keduanya mempertahankan ajaran tentang 36 tattva, yang merupakan faktor utama dalam membentuk alam semesta ini. Paling tidak pada abad ke 12 Masehi, ketika Vira Saiva ditegakkan kembali, konsep tentang 36 tattva tidak mempenagruhi ajaran Vira Saiva.
6.1.    Evolusi Alam Semesta
Kepustakaan yang apling populer yang tersedia, yang membicarakan proses evolusi alam semsta adalah tulisan Cennabasava, dalam ‘Karana Hasuge’. Cennabasava adalah kemenakan dari Basava, yang menjadi pimpinan spiritual dari aturan kependetaan Vira Saiva ( virakta ) setelah Prabhudeva. Menurut buku ini, evolusi alam semesta adalah sebagai berikut :
Pada awalnya secara logika dan bukan mengenai waktu terdapat ketiadaan, yang merupakan suatu ketiadaan sepenuhnya ( sunya ), yang tak terbayangkan dan tak dapat ditelusuri ( sarva-sunya ); tidak sesuatupun yang ditopang ( niralamba ). Sunya ini dikenal sebagai Niralamba-Brahma ( Brahma tanpa penunjang ) dan selanjutnya menjadi Niranjana-Brahma, yaitu Brahma tanpa noda, murni dan sederhana, tanpa emosi dan nafsu. Pemikiran ( nenahu ) dari Brahma ini dikenal sebagai Niranjana-Omkara-sakti, yaitu daya yang hanya merupakan huruf murni “Om” yang tanpa emosi. Penamapakan dari pemikiran ini dalam Niranjana Brahma mewujudkan Sunya-Linga, yaitu Linga dari ketiadaan yang semata-mata merupakan sifat dari Pranava “om” Linga ini memiliki Maha-jnana-Citta, yaitu pemikiran dalam wujud pengetahuan tertinggi sebagai Anga atau badanya. Sebagai hasil dari pemikiran ini, muncullah Niskala-Brahma, yaitu Brahma tanpa bagian-bagian, yang memiliki Jnana-Cittu, yakni pemikiran dalam wujud pengetahuan sebagai badan ( Anga ) nya. Brahma ini, melalui kerjasama Jnana-Cittu menghasilkan Cinnada, Cidbindu dan CitKala, yaitu Cit sebagai suara, Cit sebagai potensialitas dan Cit sebagai seni membangun ( kala ), tetapi dalam semua hal tampaknya kata Cit dipergunakan bukan hanya dalam pengertian pemikiran saja, tetapi juga dalam pengertian tentang sesuatu seperti Caitanya.
Kemudian Cinnada, Cidbindu dan Cit-Kala secara bersama-sama dengan sumbernya, yaitu Jnana-Cit, kesemuanya mengenakan bentuk padat, menjadi Mahalinga ( linga yang agung ) yang keseluruhannya sempurna dan tertinggi dalam kesemarakan, dalam wujud suatu tiang bulat menyala dengan aksara “Om” sebagai landasannya. Selanjutnya Mahalinga merubah dirinya kedalam wujud yang setelah mewujudkan lima linga, bersatu pada 5 Sadakhya, atau kemegahan dari 5 linga, yaitu :
1.    Karma-Sadakhya, atau kemegahan dari Acara-linga.
2.    Kartr-Sadakhya, atau kemegahan dari Guru-linga.
3.    Murti-Sadakhya, atau kemegahan dari Sivalinga.
4.    Amurti-Sadakhya, atau kemegahan dari Jangama-linga.
5.    Siva-Sadakhya, atau kemegahan dari Prasada-linga.

Kemegahan dari lima linga ini menjadi : Sadyojata, Vamadewa, Aghora, Tatpurusa dan Isana, yaitu lima muka dari wujud yang dikenakan oleh Mahalingga yang kemudian menjadi Sadasiva-murti. Dari kelima muka ini muncul 5 aksara, yaitu : Na, Ma, Si, Va,dan Ya, yang dalam gilirannya merupakan sumber dari Nivrtti, Pratistha, Vidya, Santi dan Santyatita. Kelima Kala ini selanjutnya dikenal sebagai lima sakti, yaitu : Kriya, Jnana, Iccha, Adi dan Para, dari muka rahasia Sadasiva Murti muncullah Atma.
Kemudian dari lima muka, mata dan pikiran Sadasiva-murti dihasilkan 5 unsur utama, matahari, dan bulan; yang menjadi sumber alam semesta, yang terdiri dari obyek-obyek yang bergerak maupun yang tak bergerak. Unsur-unsur ini diterima bukan sebagai hasil tetapi sebagai emanasi ( proyeksi ), yang kesemuanya, yaiut matahari bulan dan sang Diri ( Atma ) adalah jiwa dalam bentuk ini; sehingga digambarkan sebagai 8 wujud dari Siva atau Sadasiva. Dari sini selanjutnya muncul dunia, lautan, bintang-bintang, pegunungan dsb, yang disebut Brahmanda atau Ajanda, yaitu telur Brahman.

6.2.    Jiva
Menurut Saiva Siddhanta, jumlah jiva adalah tak terbatas dan dikelompokkan menjadi 3 golongan, yaitu: Sakala, Pralayakala dan Vijnanakala, sesuai dengan pengaruh dari 3, 2 atau satu Kala masing-masing. Ia merupakan kesatuan abadi yang berbeda dengan Tuhan ( Siva ). Menurut Trika, Parama Siva merupakan roh dibawah pembatasan oleh kancuka ( selubung ) dan menjadi banyak sesuai dengan teori abhasa dan tampaknya Vira Saiva lebih mendekati pada pemikiran Trika ketimbang pemikiran Saiva Siddhanta. Seperti Trika, Vira Saiva menelusuri asal mula dari Jiva pada Yang Maha Kuasa, dimana Parama Siva memproyeksikan kehendaknya kehendaknya menjadi alam semesta termasuk Jiva dan karena dibungkus oleh kancuka, tidak menyadari dirinya yang sebenarnya, ibarat seorang bayi yang ditutupi dengan pakaian pembebat, yang secara utuh merubahnya menjadi Purusa atau Jiva, yang oleh abhasa menjadi tak terhitung banyaknya. Vira Saiva tidak menelusuri asal. Jiva persis seperti pemikiran Trika ini, tetapi menganggap Jiva identik dengan Atman yang dihasilkan langsung dari Sadasiva-murti, dengan panca mahabutha, matahari dan bulan dan disini disebut sebagai Anga, yang menjadi Jiva apabila diproyeksikan pada avidya dan merupakan satu aspek dari Para Brahman, yang hakekatnya adalah Saccidananda, sedang aspek lainnya adalah Linga.

7.    Jenjang Spiritual ( Satsthala )
Sthala, adalah “tempat” dimana seluruh alam semesta, dengan obyek bergerak maupun tak bergerak berasal, ditunjang dan dipelihara, serta kemana nantinya ia dikembalikan. Ia adalah ‘Aksara’, tattva, intisari, yang tak terhancurkan dan tempat tertinggi bagi mereka yang mencapai Nirvana, yaitu relisasi diri sepenuhnya. Ia adalah Sivatattva yang tiada lain adalah Para-Brahman, yang memiliki karakteristik Sat, Cit dan Ananda. Maswinara ( 2006 : 303 ).
Sthala pada umumnya dipergunakan dalam pengertian “tahapan”, “jenjang” atau tempat penghentian bagai sang roh dalam perjalan spiritualnya dan setiap Sthala merupakan suatu persiapan untuk menuju jenjang berikutnya yang lebih tinggi. Kehidupan spiritual dari penganut Vira Saiva diatur dalam 6 jenjang. Jiva, karena diselubungi oleh Avidya hanya mengamati obyek material atau “bhoga” yang dianggapnya mendatangkan segala kebahagiaan; tetapi pada suatu saat, secara ajaib timbul pemikiran bahwa material bukanlah segalnya dan ia mengamati bahwa terdapat bebrapa tujuan didalamnya dan kekuatan misterius berada dibelakangnya. Pemikiran ini meningkat secara perlahan-lahan dalam keyakinannya terhadap kekuatan Yang Maha Kuasa dan ia ingin mengetahuinya. Keadaan ini merupakan titik awal didalam pengkajian spiritual dan berkaitan dengan awal dari Bhaktasthala, yaiut suatu tahapan dalam kehidupan spiritual manusia dimana ia mempercayai akan keberadaan Tuhan dan mempersembahkan rasa bhaktinya kepada-Nya.
Vira Saiva mengakui 6 jalan menuju penyatuan akhir, dimana yang satu melampaui lainnya, yang disebut sebagai:Varna, Pada, Mantra, Kala, Bhuvana dan Tattva. Ia juga mengakui adanya 6 bentuk anugerah atau karunia Siva, yaitu :
7.1.    Mahesvaratatvavirbhava, yaitu kesadaran intelektual atau pencapaian Tuhan sebagai kebahagiaan abadi dan transendental yang diperoleh melalui mendengarkan naskah-naskah suci, perenungan terhadapnya dan visualisasi arti maksudnya.
7.2.    Sadasiva tattva, yaitu realisasi dari kategori ketiga, yang disebut Sadasiva, yang merupakan suatu tingkatan spiritual, di mana objektifitas dan subjektifitas, atau “ Aku “ dan “ ini “, terbebas dari segala unsur pribadi dan sama-sama bersinar.
7.3.    Siva sakti samyoga, yaitu kontak dengan daya Tuhan, yang disebabkan pelaksanaan Yoga, seperti yang diberikan dalam Saivagama dan disebut sebagai Siva-Yoga.
7.4.    Sarva-bhuvana-gamana paroksa darsana, yaitu kemampuan untuk pergi ke semua alam dunia dan untuk melihat yang tak dapat di amati.
7.5.    Animadyaisvarya, yaitu pencapaian daya menjadi lembut atau meresapi segalanya, yang disebabkan pertemuan dua udara vital, yaitu Prana dan Apana; yang berakibat pada pencapaian daya yang menguntungkan ( kalyana vibhuti ), yang tiada lain merupakan satu bagian dari Kesadaran Semesta ( citkalamaya ) dan mencerahi alur tengah, yaitu susumna nadi.
7.6.    Unmanyavasthaprapti, yaitu pencapaian keadaan transendental yang merupakan tingkatan yang tak terpastikan, karena Manas tidak berfungsi atau terserap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar